Sangut merupakan salah satu tokoh punakawan di pewayangan Bali. Sangut digambarkan sebagai seseorang yang berbadan kurus, berbibir monyong dengan perut yang besar. Jika dalam pewayangan Jawa, Sangut hampir mirip dengan Petruk. Seperti yang kita semua ketahui di dalam dunia pewayangan, Sangut bersama dengan tokoh Delem selalu berada di pihak yang antagonis atau tidak berpihak pada kebenaran, pihak yang selalu berbuat onar dan tidak suka kedamaian.
Pada dasarnya, Sangut adalah karakter yang tahu kalau dirinya salah. Dia paham atas kesalahan yang dia lakukan. Akan tetapi, dia selalu mengikuti apa perintah tuannya. Dia benar-benar setia, taat dan patuh. Jika melakukan kesalahan, dia akan berkeluh kesah seorang diri. Dengan ciri khas ini, dalam pementasan wayang kulit, sosok Sangut sering terlihat suka mendumel sendiri.
Di era modernisasi ini, karakter Sangut tidak pernah mati. Banyak sangut-sangut milenial yang berkeliaran di semua penjuru arah mata angin. Salah satunya di dalam perusahaan atau lingkungan tempat kerja. Seperti yang kita ketahui, di setiap perusahaan tentu ada yang namanya atasan dan karyawan. Dimana antara atasan dan karyawan itu ada hukum telak yang berbunyi “atasan selalu benar”. Dari kondisi tersebut muncul lah karakter sangut yang terpaksa atau tidak, harus berjalan mengikuti hukum tersebut.
Akibat hukum telak itu, karyawan pun diwajibkan menjadi sangut dalam perusahaan. Karyawan tidak dibenarkan apabila menolak atau mengomentari perintah atasan. Sekali pun aturan atau perintah yang dibuat oleh atasan bertentangan dengan hati nurani karyawan tersebut. Namun sangut sang karyawan harus tetap berjalan dengan perintah itu.
Ada dua alasan kenapa karyawan di wajibkan menjadi sangut, yaitu karena jabatan dan harta. Dua hal tersebut tidak bisa kita pungkiri jika manusia memang sangat menginginkanya. Dua kata itu menjadi sangat penting sebagai pegangan hidup di era globalisasi ini. Karena kehidupan di zaman ini berlaku hukum rimba “hanya yang terkuat yang mampu betahan hidup“.
Harta dan jabatan menjadi dua senjata pokok untuk menjalani hidup ini. Maka mau tidak mau, karakter Sangut pun harus tetap ada di era ini. Banyak sangut yang selalu mengeluh atas perintah yang dia dapat dari sang atasan. Bedanya sangut zaman bahula dan sangut zaman now terletak pada bagaimana cara dia melampiaskan kekesalannya. Sangut generasi terdahulu melampiaskan kekesalannya dengan bercerita pada siapa saja yang dia temui di jalan atau tempat kerja. Sedangkan sangut milenial selalu melampiaskan kekesalanya di tempat paling hits yang kita sebut sebagai “social media“.
Sangut-sangut milenial menjadikan media sosial sebagai tempat yang tepat untuk berkeluh kesah. Semua kebencian, kutukan, makian dan cacian yang tidak bisa dia sampaikan langsung, akan dia sampaikan di jejaring sosial. Semakin lama, hal ini akan menjadi kebiasaan. Apakah kebiasaan ini aman untuk dirinya? Menjadi senjata makan tuan kah nantinya?
Ketika berkeluh kesah kepada teman-temannya di komunitas jejaring sosial, seringkali dia sama sekali tidak menaruh kecurigaan sedikit pun. Dia percaya seribu persen pada teman social medianya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam hatinya. Yang Sangut sadari, dia hanya menjadi puas ketika sudah menceritakan semua isi hati, semua kebencian dan semua unek-uneknya itu di dunia maya. Bahkan si sangut milenial tidak menyaring sedikit pun apa yang dia tulis di sini. Semua aib, semua kekesalan dan kebencian.
Adakah yang peduli?
Jika dia lumayan aktif dan terkenal di jagat maya, maka sangut-sangut lain akan senantiasa menjadi teman setianya. Untuk menghangatkan suasana, acapkali tokoh Delem akan ikut nimbrung. Akan tetapi, belum tentu mereka bersimpati dengan kondisi si sangut. Mungkin saja mereka tertawa mengikuti kisah-kisah hidupnya yang dramatis. Curhatan dan kicauannya hanya akan menjadi pertunjukan boomerang yang enak untuk ditonton dan dinikmati. Semoga generasi sangut di era milenial bisa beradaptasi dengan kerasnya kehidupan di awal zaman kaliyuga ini.