Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Di Balik Jendela Kayu Tua | Bagian 12

Seorang pria berdiri di dekat jendela dengan benang merah berkelindan di dadanya

Permainan Benang Halus di Hati Ardi

Hujan turun malam itu, mengetuk jendela kantor Ardi dengan ritme lambat. Suaranya seperti irama yang tak pernah berhenti, menambah berat pada pikiran yang sudah penuh. Ia duduk termenung di ruangannya, menatap blueprint proyek yang terbuka di meja. Garis-garisnya tetap sama, tegas dan rapi, tapi di matanya kini hanya tampak kabur. Proyek itu, yang seharusnya memberi semangat, malah terasa kosong.

Pikirannya kacau: antara cinta, ambisi, dan bayangan dua wanita yang sama-sama menguasai hidupnya. Rara dengan kehangatan yang tiba-tiba hadir dan membuka pintu hatinya. Tika dengan sejarah panjang yang menempel, luka sekaligus kenangan yang sulit dilepaskan. Dan jauh di dasar memorinya, ada Dinda, nama yang sudah lama ia kubur, cinta pertama yang pernah membuatnya percaya pada keabadian, tapi juga cinta yang paling tega meninggalkannya. Ingatan itu tak lagi segar, tapi seperti arang dingin yang sesekali masih berasap, mengingatkan bahwa luka lama bisa tetap membekas meski ia berpura-pura sembuh.

Pintu terbuka perlahan. Tika masuk tanpa mengetuk, seolah ruang itu sebagian miliknya. Rambutnya sedikit basah karena hujan, menempel di pipi. Wajahnya ditata dengan ekspresi getir yang nyaris sempurna, seakan ia sudah menyiapkan adegan ini.

“Ardi…” suaranya lirih, hampir pecah. “Kamu tahu nggak rasanya dikhianati orang yang kamu percaya?”

Ardi mendongak, keningnya berkerut. “Apa maksudmu, Tik?”

Tika melangkah mendekat, meletakkan sebuah map di meja dengan suara berat. “Kamu tahu Rara datang padaku. Dia menunjukkan rekaman itu ke kamu juga, kan? Dia ingin kamu membenciku, ingin memisahkan kita… dengan kebohongan.”

Ardi terdiam. Tangannya mengepal di pangkuan, urat di lengannya menegang. Ia ingin mempercayai logika, ingin berpegang pada bukti. Tapi matanya tak bisa berbohong, ada keraguan, ada luka yang kembali disayat.

Tika menunduk, lalu air mata jatuh membasahi map di depannya. “Aku memang ambisius, Ardi. Aku kerja keras demi posisi ini, demi diakui. Tapi semua itu aku lakukan juga buat kamu. Kalau aku nggak ambisius, kita nggak akan pernah punya proyek sebesar ini.”

Ia menghela napas panjang, suaranya pecah di ujung kalimat. “Tapi apa balasannya? Kamu malah jatuh ke pelukan Rara… seolah semua yang pernah kita bangun nggak ada artinya. Aku yang selalu ada di sampingmu, yang tahu betul betapa hancurnya kamu waktu gagal dulu, yang berdiri menopang saat semua orang menjauh, aku yang menanggung luka itu bersamamu. Tapi sekarang, kamu lebih percaya pada perempuan yang baru datang dalam hidupmu, yang nggak pernah tahu betapa kerasnya kita bertahan sampai titik ini.”

Ia mengangkat wajahnya, matanya basah namun tajam. “Apa semudah itu, Di? Menghapus semua jejak yang kita jalani, hanya karena satu ciuman, satu malam, satu godaan? Kalau iya, berarti aku selama ini cuma bayangan di belakangmu. Dan itu… luka yang nggak akan pernah bisa aku terima.”

Ia mengangkat wajah, menatap Ardi lebih dalam, seakan meraih sesuatu yang hampir hilang. “Kamu ingat malam itu di tepi danau? Waktu kamu bilang nggak ada yang bisa ngerti kamu selain aku? Aku masih simpan kata-kata itu, Ardi. Dan sampai sekarang, aku masih percaya… nggak ada yang ngerti kamu lebih baik dari aku.”

Ardi menarik napas panjang. Kata-kata Tika menjeratnya seperti benang halus, tak terlihat, tapi terasa. Nostalgia dan logika beradu dalam dirinya. Ada bagian dari hatinya yang ingin percaya lagi, meski ia tahu bisa saja itu jebakan.

Di luar ruangan, Rara berdiri membeku. Ia tak sengaja mendengar percakapan itu dari balik pintu. Suara Tika yang bergetar, air mata yang terdengar tulus… semua itu bagai racun manis yang bisa membalik keadaan.

Hati Rara mencelos. Ia tahu, pertempuran ini bukan lagi soal bukti atau rekaman. Tika sedang memainkan permainan paling berbahaya: emosi Ardi.

Dan Rara sadar, satu langkah salah, Ardi bisa benar-benar berpaling, meninggalkannya dalam bayangan.

Bersambung ke Bagian 13…

Di Balik Jendela Kayu Tua | Bagian 12

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top