Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Di Balik Jendela Kayu Tua | Bagian 13

Nyala api abadi di tepi danau gelap dengan pantulan cahaya di permukaan air

Api yang Tak Bisa Padam di Tepi Danau

Malam merayap pelan, seperti bayangan panjang yang menelan jalanan kosong di sekitar kantor. Setelah percakapan berat dengan Tika, dada Ardi terasa sesak. Kata-kata Tika terus bergema, menolak hilang, membuat pikirannya terhuyung antara masa lalu dan kenyataan. Ia akhirnya memilih keluar, meninggalkan dinginnya lampu neon kantor, melangkah di jalan setapak menuju danau. Ia butuh udara segar, butuh hening, butuh menjauh dari permainan kata yang membuat hatinya koyak.

Langkahnya lambat, tapi jantungnya berdegup cepat. Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan sisa hujan. Bulan menebarkan cahaya pucat di permukaan danau, menciptakan kilau yang bergetar di antara riak. Di sanalah ia melihat sosok itu. Rara.

Ia berdiri dengan rambut terurai, wajah serius namun penuh kehangatan. Keberadaannya bagai cahaya yang menyeimbangkan kekacauan dalam dada Ardi. Angin malam meniupkan aroma samar bunga liar, seolah alam pun mendukung pertemuan ini.

“Ardi…” suara Rara bergetar, namun tetap tegas. “Aku tahu Tika sudah memainkan hatimu. Aku dengar semuanya.”

Ardi menunduk, menatap pantulan bulan di permukaan danau. “Rara, jangan salahkan aku kalau aku goyah. Aku dan Tika punya masa lalu. Aku nggak bisa pura-pura lupa begitu saja.”

Rara melangkah mendekat. Tatapannya menusuk dalam, mantap, meski dadanya bergejolak. “Justru karena itu aku ada di sini. Aku nggak akan biarin masa lalumu jadi jebakan. Aku ingin kamu lihat aku, lihat kita. Ini bukan api sesaat. Ini api yang nggak bisa padam, bahkan saat badai datang.”

Ia meraih tangan Ardi, menempelkannya ke dadanya yang berdegup kencang. Hangat, nyata, penuh ketegangan. “Dengar ini. Setiap kali kamu ragu, aku ada. Setiap kali kamu lelah, aku jadi rumahmu. Aku nggak butuh janji manis. Aku butuh kamu, sekarang, apa adanya.”

Mata Ardi bergetar, sisa keraguannya runtuh. Seolah tembok pertahanan bertahun-tahun luruh di hadapan keberanian Rara.

Rara mendekat. Napas mereka bertemu, panas, penuh ketegangan. “Kalau Tika bermain dengan masa lalumu…” bisiknya tajam, “…biarkan aku jadi masa depanmu.”

Tanpa menunggu, bibir Rara menempel pada bibir Ardi. Ciuman itu meledak, intens, liar, penuh api yang terlalu lama terpendam. Ardi membalas, tangannya meraih pinggang Rara, menariknya erat hingga tubuh mereka bertaut.

Ciuman itu makin dalam, makin rakus. Rara menengadah, membiarkan desah singkatnya lolos. Tangan Ardi menyusuri punggungnya, turun ke lekuk pinggang, menekan lembut seakan takut melepaskan. Rara meremas kemeja Ardi, menyeretnya lebih dekat, seolah takut lelaki itu hilang lagi. Bibir mereka berpindah-pindah, dari kecupan lembut ke gigitan kecil yang membuat tubuh bergetar.

Hasrat yang mereka tahan meledak begitu saja. Nafas mereka memburu, tubuh saling mencari, saling menuntut. Ardi menuntun Rara ke tepian rerumputan dekat danau. Tanpa kata, mereka rebah bersama, ditemani riak air dan bisikan angin malam.

“Ardi…” Rara berbisik di telinganya, suaranya penuh getar, “malam ini… jangan lepaskan aku.”

Ardi menjawab dengan ciuman panjang, lalu jemarinya menjelajah, membuka satu per satu penghalang di antara mereka. Rara menggigil, bukan karena dingin, tapi karena api yang menyala di setiap inci kulitnya. Alam liar menjadi saksi, seolah seluruh semesta ikut merestui keberanian mereka.

Tubuh mereka akhirnya menyatu, dengan ritme yang liar sekaligus lembut. Rara menggenggam erat, kepalanya terbenam di dada Ardi, sementara napasnya terputus-putus. Ardi menahan setiap gerakan, memadukan rasa rindu, cinta, dan hasrat yang tak terbendung lagi.

Di tepi danau itu, di bawah bulan yang perlahan bersembunyi di balik awan, mereka bercinta tanpa takut, tanpa malu. Setiap desah, setiap sentuhan, menjadi pengakuan yang lebih jujur daripada kata-kata.

Malam itu, cinta mereka bukan lagi sekadar janji atau permainan. Itu adalah keberanian, untuk menyerahkan diri sepenuhnya, mengambil risiko, dan membiarkan api yang tak bisa padam membakar mereka sampai ke inti jiwa.

Bersambung ke Bagian 14…

Di Balik Jendela Kayu Tua | Bagian 13

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top