Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Sentuhan yang Tak Terucap | Bagian 6

Naya dan Arga berdiri dekat di ruang pantry kantor dengan ketegangan tersembunyi.

Bayangan di Ambang Pintu: Rahasia yang Hampir Terbongkar

Pintu ruangan arsip terbuka perlahan. Sinar lampu koridor menembus kegelapan, menyilaukan mata Naya yang masih menahan napas. Arga berdiri di sisinya, terlalu dekat, masih dengan genggaman jemari yang enggan terlepas.

Seorang staf junior, Randi, berdiri di ambang pintu. “Eh… saya kira ruangan ini kosong. Listrik sempat padam tadi, jadi saya cek…” suaranya terdengar canggung. Matanya sempat berpindah cepat dari Naya ke Arga, seolah membaca sesuatu yang tak seharusnya ia lihat.

Naya buru-buru menunduk, melepaskan genggaman tangan. “Kami… hanya mencari dokumen,” katanya, suaranya serak, mencoba terdengar biasa. Arga mengangguk singkat, wajahnya tetap tenang, nyaris tanpa ekspresi. Tapi detak jantungnya jelas terdengar di telinga Naya.


Bisikan yang Tak Hilang

Setelah Randi pergi, keheningan kembali menutup ruangan arsip. Hanya napas mereka berdua yang tersisa, masih berat, masih menyisakan bara yang nyaris pecah.

“Kita tidak bisa terus seperti ini,” ucap Arga akhirnya, suaranya pelan tapi tegas.
Naya menatapnya lama. Ada luka di balik kata-kata itu, tapi juga kejujuran yang menelanjangi isi hati.

“Kalau memang tidak bisa… kenapa kau masih di sini bersamaku?” tanya Naya, nyaris berbisik, tapi penuh tantangan.
Arga tidak menjawab. Ia hanya mendekat, jemarinya menyusuri pipi Naya sekilas, lalu berhenti di rahang yang bergetar. Sentuhan singkat, tapi cukup untuk membuat seluruh tubuh Naya terbakar.


Tekanan Kantor, Tekanan Hati

Keesokan harinya, kantor terasa lebih ramai dari biasanya. Naya berjalan melewati ruang kerja yang penuh bisik-bisik. Ia bisa merasakan mata-mata yang sesekali melirik, seolah ada gosip baru yang belum sempat ia dengar.

“Katanya semalam ada yang ketahuan bareng di arsip,” bisik Sinta, rekan sekantor, kepada seorang staf lain. Naya berpura-pura tidak mendengar, tapi wajahnya memanas.

Arga, di sisi lain, tetap tenang. Dalam rapat pagi, ia memimpin presentasi dengan suara mantap. Tapi setiap kali matanya sekilas bertemu mata Naya, ada sesuatu yang menyambar di udara. Kode-kode diam, bahasa rahasia yang hanya mereka pahami.


Pertemuan di Ruang Pantry

Siang itu, Naya masuk ke pantry untuk sekadar menenangkan diri. Aroma kopi baru diseduh memenuhi udara. Saat ia membuka lemari gelas, suara pintu pantry menutup pelan di belakangnya.

Arga.

“Naya,” suaranya rendah.
“Jangan di sini, Kak,” Naya menunduk, tangan bergetar. “Terlalu banyak mata di luar sana.”
“Tapi aku tidak bisa lagi pura-pura.”

Dalam ruang sempit itu, Arga berdiri hanya beberapa langkah darinya. Matanya tajam, suaranya berat, tubuhnya membawa panas yang merambat lebih cepat dari uap kopi di meja.

“Semalam… aku hampir kehilangan kendali,” Arga berbisik.
Naya menggigit bibir. “Dan sekarang?”
Arga melangkah maju, menekan jarak yang nyaris tak ada. “Sekarang aku lebih berbahaya.”


Hasrat yang Menyusup

Tubuh mereka akhirnya bertemu di antara aroma kopi dan cahaya lampu putih yang menyilaukan. Naya menahan napas ketika Arga meraih pinggangnya, hanya sebentar, sebelum buru-buru melepaskannya lagi.

“Kita gila,” Naya berbisik, tapi ia tidak melangkah mundur.
“Kalau ini gila, maka biarlah aku jatuh bersamamu,” jawab Arga.

Waktu berhenti sejenak. Hanya suara detik jam dinding dan degup jantung mereka berdua yang terdengar. Dunia luar menghilang, tersisa dua manusia yang terjebak dalam rahasia yang makin sulit dikendalikan.


Rahasia yang Mengintai

Tiba-tiba, pintu pantry terbuka. Sinta muncul, membawa map. Ia menatap sekilas, keningnya berkerut. “Eh, kalian di sini? Lagi bahas apa?” tanyanya polos.

“Strategi proyek,” jawab Arga cepat, dengan nada datar. Naya hanya tersenyum tipis, pura-pura santai padahal jantungnya hampir melompat keluar.

Sinta mengangguk, tapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu. Ia lalu keluar lagi, meninggalkan keheningan yang lebih mencekam.


Batas yang Kian Runtuh

Setelah pintu pantry tertutup kembali, Naya menarik napas panjang. “Kita akan hancur kalau terus begini,” suaranya pecah, hampir putus asa.
Arga mendekat sekali lagi, suaranya bergetar. “Atau kita justru akan menemukan diri kita yang sebenarnya.”

Mata mereka saling mengunci. Ada dunia yang terbuka di balik tatapan itu, dunia penuh risiko dan kenikmatan yang tak bisa mereka tolak.

Naya menutup matanya sejenak. “Kalau begitu… jangan berhenti di tengah jalan.”

Arga mendekat, hanya sejarak helaan napas. Dan sebelum bibir mereka bersentuhan, suara telepon kantor dari meja pantry berdering keras, membuyarkan segalanya.

Mereka berdua terdiam, terperangkap dalam hasrat yang tak sempat pecah, dan rahasia yang kian sulit dijaga.

Bersambung ke Bagian 7…

Sentuhan yang Tak Terucap | Bagian 6

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top