Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Sangut Milenial: Ketika Punakawan Bertemu Era Digital

Sangut. Nama yang mungkin terdengar akrab bagi para penikmat seni pewayangan Bali. Ia adalah salah satu tokoh punakawan yang sering tampil bersama Delem. Tubuhnya kurus, bibirnya monyong, tapi perutnya besar—seolah menyimpan banyak unek-unek yang tak sempat diluapkan. Jika di dunia pewayangan Jawa kita mengenal Petruk, maka Sangut adalah “saudara” dekatnya di jagat wayang Bali.

Namun, berbeda dengan tokoh punakawan lain yang sering berpihak pada kebaikan, Sangut justru berada di sisi yang sebaliknya. Ia dan Delem dikenal sebagai tokoh yang gemar membuat keributan, selalu berada di pihak antagonis, dan tak suka kedamaian. Tapi menariknya, Sangut bukanlah tokoh jahat yang benar-benar jahat. Ia sadar bahwa tindakannya salah. Ia tahu apa yang dilakukan tuannya tidak benar. Namun ia tetap patuh, setia, dan tunduk.

Yang unik, Sangut tak melawan. Ia hanya mendumel—menggerutu pelan dalam hati atau berbicara sendiri, seperti orang yang ingin protes tapi tahu diri. Karakter ini ternyata tak mati di masa kini. Justru, Sangut hadir kembali… dalam wujud baru: Sangut Milenial.

Sangut di Dunia Kerja

Lihatlah di sekeliling kita—di kantor, perusahaan, atau tempat kerja mana pun. Ada banyak Sangut di era modern ini. Mereka adalah para karyawan yang, mau tak mau, harus selalu berkata “ya” pada perintah atasan. Meski perintah itu kadang bertentangan dengan logika, nurani, bahkan nilai-nilai kebenaran yang mereka yakini.

Kenapa tetap dijalani? Jawabannya: jabatan dan harta. Dua hal yang jadi magnet utama dalam kerasnya persaingan hidup saat ini. Tak sedikit orang yang rela mengorbankan pendapat pribadi dan integritas, demi menjaga posisi atau penghasilan. Maka, karakter Sangut pun menjelma menjadi strategi bertahan hidup.

Dari Keluh Kesah ke Jejaring Sosial

Sangut zaman dulu mungkin hanya menggerutu pelan saat berjalan pulang dari kerja. Tapi Sangut milenial? Mereka curhat di media sosial. X Twitter, Instagram story, Facebook, bahkan TikTok menjadi panggung terbuka untuk meluapkan kekesalan.

Atasanku gak masuk akal!” “Kenapa sistemnya begini banget sih?” “Kalau bukan karena gaji, aku udah resign!

Semua ditumpahkan. Kadang disamarkan, tapi tak jarang juga ditulis sejujurnya. Media sosial menjadi tempat paling nyaman untuk mencurahkan isi hati, karena di sanalah mereka merasa “didengar”. Tapi, apakah tempat ini aman? Apakah semua teman di dunia maya benar-benar peduli?

Delem, Boomerang, dan Pertunjukan Online

Yang sering terjadi justru sebaliknya. Alih-alih mendapat simpati, keluhan Sangut malah jadi bahan tontonan. Bahkan, tokoh-tokoh “Delem” pun ikut nimbrung. Bukan untuk memberi solusi, tapi menertawakan dan memanaskan suasana. Dalam dunia digital yang serba cepat ini, empati sering kali kalah oleh sensasi.

Tanpa disadari, curhatan di media sosial bisa menjadi boomerang. Yang awalnya hanya ingin meluapkan emosi, bisa berubah menjadi bumerang yang menghantam reputasi sendiri. Apalagi jika postingan itu sampai ke mata yang salah—bos, HRD, atau rekan kerja yang tidak sepemikiran.

Bijak Menjadi Sangut

Tidak salah menjadi Sangut. Tidak salah merasa lelah, kesal, dan ingin berbicara. Tapi Sangut milenial perlu belajar bijak—tentang kapan harus bicara, kepada siapa, dan bagaimana cara menyampaikannya.

Di zaman kaliyuga yang penuh tantangan ini, menjadi Sangut bukan berarti lemah. Tapi menjadi Sangut yang cerdas, tahu kapan harus patuh dan kapan harus bersuara, itulah yang bisa membawa perubahan.

Semoga generasi Sangut milenial bisa bertahan dan berkembang, tanpa harus kehilangan suara hatinya.

Sangut Milenial: Ketika Punakawan Bertemu Era Digital

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top