Rekaman yang Mengguncang
Rara duduk di ruang kerjanya yang remang. Di meja, sebuah ponsel tua dengan layar retak menampilkan file rekaman suara yang baru ia temukan dari folder rahasia milik Ardi. Suara itu… suara Tika.
“Kalau Ardi jatuh, semua perhatian pasti beralih ke aku. Aku sudah atur angka-angka di laporan, jadi seolah-olah dia yang ambil keputusan. Padahal semua jebakan ada di tanganku. Mereka kira Ardi pahlawan, tapi nanti… dia sendiri yang akan jadi kambing hitam.”
Nada angkuh itu membuat dada Rara berdegup cepat. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar persaingan cinta: ini soal ambisi, manipulasi, dan masa lalu yang sengaja ditutup rapat.
Malam itu juga, Rara memutuskan: cukup sudah. Ia menyalin rekaman itu ke flashdisk mungil, memasukkannya ke saku blazer. Tapi satu pertanyaan muncul: bagaimana ia bisa menemukan Tika, yang sejak beberapa waktu lalu seperti menghilang dari lingkaran hidup mereka?
Jawabannya ada di dalam ponsel tua itu juga. Saat menelusuri lebih jauh, Rara menemukan riwayat pesan singkat lama antara Ardi dan Tika. Di sana, terselip satu nama kontak yang berbeda, bukan nama asli, hanya tertulis “Kafe B.” Pesan itu singkat: “Aku tunggu di Kafe B, seperti biasa.”
Rara tersenyum tipis. “Jadi di sanalah kamu bersembunyi, Tik.”
Ia tak langsung menyerbu. Dengan tenang, ia menyalin nomor Tika, lalu mengetik pesan singkat, menyamarkan dirinya dengan nada netral: “Ada yang harus kita bicarakan. Tentang Ardi. Malam ini. Kafe B, jam delapan.”
Tak ada balasan segera. Detik-detik terasa panjang, jantung Rara berdebar. Hingga akhirnya layar ponsel bergetar. Balasan muncul: “Baik. Jangan terlambat.”
Rara menutup ponsel itu perlahan, napasnya dalam. Pertemuan itu sudah ditetapkan. Ia tahu, ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah panggilan perang.
Malam itu, di kafe kecil tepi danau yang remang, Tika sudah menunggu. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya tetap menyimpan aura percaya diri meski ia jelas datang dengan kewaspadaan. Saat melihat Rara berjalan mendekat, senyum sinis langsung terbit di bibirnya.
“Tumben kamu yang ngajak ketemu. Biasanya sembunyi di balik Ardi.”
Rara duduk tanpa basa-basi, meletakkan flashdisk di meja. “Aku sudah dengar suaramu, Tika. Rekaman itu… tentang proyek masa lalu. Tentang bagaimana kamu menjebak Ardi untuk mengambil semua risiko, sementara kamu menyimpan kemilau kemenangan untuk dirimu sendiri.”
Tika membeku sesaat, lalu tertawa kecil. “Jadi? Kamu pikir dengan itu kamu bisa menjatuhkan aku? Dunia bisnis nggak peduli siapa yang mulai, Ra. Mereka hanya lihat siapa yang berdiri di atas panggung.”
Rara mencondongkan tubuh, suaranya rendah tapi menusuk. “Kalau dunia memang hanya melihat panggung, aku bisa tunjukkan rekaman ini di depan dewan. Dan saat itu, kamu akan jatuh dari panggungmu sendiri.”
Untuk pertama kalinya, Tika kehilangan kendali. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. “Kamu berani melawanku?”
“Aku berani, Tika. Demi Ardi. Demi semua kebenaran yang kamu sembunyikan.”
Suasana tegang. Dua wanita, satu meja, tapi terasa seperti dua samurai yang bersiap menghunus pedang.
Dan saat itu, Rara sadar: ini bukan lagi sekadar tentang cinta terlarang. Ini adalah pertarungan dua ambisi, dua rahasia, dan dua hati yang tak mau menyerah.
Bersambung ke Bagian 12…