Bayangan di Balik Pohon
Ciuman itu masih terasa membara ketika akhirnya mereka terlepas, napas keduanya tersengal, seolah baru saja melawan badai panjang yang tak pernah reda. Ardi menyandarkan keningnya pada kening Rara, matanya terpejam, mencari ketenangan. Dalam kehangatan itu, ia merasa seperti menemukan rumah yang hilang, rumah yang telah ia cari bertahun-tahun di tengah kekacauan ambisi dan masa lalu yang membelit.
Namun, tidak jauh dari tempat mereka berdiri, di balik pepohonan rindang yang mengapit danau, sepasang mata memandang dengan dingin. Mata itu tajam, menyimpan bara amarah yang disembunyikan di balik senyum tipis penuh racun. Tika.
Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, begitu kuat hingga kuku jarinya memutih. Jemarinya bergetar bukan karena takut, melainkan karena rasa marah yang mendidih, bercampur dengan kepahitan melihat Ardi dan Rara menanggalkan jarak terakhir di antara mereka. Di layar ponselnya, rekaman itu tersimpan jelas: bagaimana Ardi dan Rara meneguhkan perasaan mereka lewat ciuman yang tak bisa lagi disangkal.
“Bagus sekali, Rara…” gumamnya lirih, bibirnya melengkung tipis. “Kamu kira aku akan menyerah semudah itu? Kamu salah besar.”
Di tepi danau, Ardi menatap Rara dengan mata penuh luka bercampur lega. “Kamu gila, Ra. Kamu berani pertaruhkan segalanya hanya buat aku.”
Rara menggenggam tangannya erat, begitu kuat seolah tak ingin dunia merenggutnya lagi. “Karena kamu layak, Di. Aku nggak peduli apa yang akan terjadi besok. Aku cuma tahu, malam ini… aku punya kamu.”
Ardi menarik napas panjang, dadanya terasa lebih ringan. Di dalam dirinya, sebuah kepastian tumbuh, sesuatu yang tidak pernah ia temukan bahkan ketika bersama Tika. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar berani memilih, meski ia tahu konsekuensinya bisa menghancurkan segalanya.
Namun, suara kecil yang datang dari balik semak membuat Rara menoleh cepat. Wajahnya tegang, matanya menyapu gelap malam. “Kamu dengar sesuatu?” tanyanya dengan nada cemas.
Ardi mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri ikut gelisah. “Mungkin cuma suara angin,” jawabnya pelan. Tapi di hatinya ia tahu, itu bukan sekadar angin. Ranting yang patah barusan terlalu berat untuk sekadar hembusan udara malam.
Sementara itu, Tika melangkah menjauh dengan cepat. Jemarinya lincah mengetik pesan singkat, mengirimkan rekaman itu ke seseorang yang jelas-jelas telah menunggu. Pesan singkat menyertainya:
“Aku sudah punya bukti. Saatnya kita buat mereka berdua runtuh.”
Malam itu, di tepi danau, api cinta memang menyala dengan indah. Tapi jauh di balik cahaya bulan, bayangan sedang menyiapkan badai yang lebih besar, badai yang bisa meruntuhkan cinta, karier, bahkan hidup Ardi sekaligus.
Bersambung ke Bagian 15…