Bara yang Tumbuh dari Reruntuhan
Malam itu, kota terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu gedung yang biasa memantul ramai di jendela apartemen Rara kini tampak redup, seolah ikut menahan napas bersama pemiliknya.
Rara duduk di lantai dekat jendela besar, lutut tertekuk, rambutnya tergerai acak. Ia memeluk dirinya sendiri, bukan karena kedinginan, tapi karena tubuhnya seperti kehilangan jangkar.
Sejak sidang internal pagi tadi, pikirannya berputar tanpa arah.
Bukan karena rasa bersalah.
Bukan karena tatapan orang-orang yang memotong langkahnya di lorong kantor.
Tapi karena satu hal yang menempel seperti bayangan: Ardi terlihat lebih hancur daripada dirinya.
Pintu apartemen berbunyi pelan. Rara menoleh, dan di sanalah Ardi berdiri, wajahnya redup, matanya merah, bahu jatuh seperti seseorang yang sudah terhunus dari semua sisi.
“Aku… boleh masuk?” suaranya pecah, hampir tidak terdengar.
Rara mengangguk. Ardi melangkah masuk dengan langkah berat, menutup pintu dengan hati-hati seakan seluruh dunia bisa retak kalau ia memejamkan mata terlalu cepat.
Ia berdiri beberapa detik, lalu akhirnya duduk di sofa, menunduk. “Semua orang lihat aku kayak… laki-laki paling kotor sedunia,” katanya pelan. “Aku nggak peduli kalau itu cuma gosip kantor. Tapi keluargaku… ibuku nangis waktu dengar potongan rekaman itu.”
Rara mendekat, duduk di hadapannya.
“Ardi, kamu bukan laki-laki kotor. Kamu cuma… manusia yang jatuh cinta pada waktu yang buruk.”
Ia tersenyum miris. “Jatuh cinta, ya? Lucu. Dunia nggak kasih ruang buat orang kayak kita.”
Rara mengangkat wajahnya, menatapnya lama. “Tapi aku kasih ruang itu. Di sini.”
Ardi menoleh, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia membiarkan dirinya terlihat rapuh. Matanya berkaca-kaca, napasnya tersendat.
“Aku takut, Ra…”
“Takut apa?”
“Takut kehilangan kamu. Takut kamu nyesel kenal aku. Takut semua ini cuma bikin kamu sadar kalau dekat sama aku cuma bikin hidupmu berantakan.”
Rara menyentuh pipinya pelan, ibu jarinya mengusap garis rahangnya yang tegang. “Ardi, aku nggak pernah ngerasa kamu beban.”
Ardi memejamkan mata sejenak, menahan emosi yang terlalu banyak untuk ditahan. “Kalau kamu mau pergi… ini waktu yang tepat,” katanya lirih. “Kamu bisa cabut, mulai baru, bersih. Kamu nggak perlu…”
Rara langsung memotongnya. “Kamu pikir aku tipe yang lari saat hubungan kita diuji? Ardi… justru sekarang aku tau satu hal.”
“Apa?”
Bahunya naik-turun, tapi suaranya tegas.
“Aku sayang sama kamu. Lebih dari yang harusnya.”
Ardi menatapnya, seolah kata-kata itu menusuk tepat di tengah dadanya. Rara bisa melihat bagaimana tubuhnya melemas, bagaimana hatinya seperti baru saja diberi izin untuk bernapas.
“Kamu…” Ardi berbisik pelan. “Kamu bikin aku waras hari ini.”
Rara tersenyum dan bergerak lebih dekat, cukup dekat hingga lutut mereka bersentuhan. Ada keheningan tipis di antara mereka, bukan canggung, tapi intens.
Seperti angin panas sebelum hujan besar.
Seperti bara yang sudah lama menunggu dihembuskan.
“Ra…”
“Hmm?”
“Boleh aku di sini malam ini?”
Rara tahu maksudnya bukan sekadar ingin tidur di apartemennya. Tapi juga ingin tempat untuk menjadi manusia yang hancur, rapuh, dan butuh disentuh tanpa dihakimi.
Ia mengangguk pelan. “Boleh.”
Ardi menggeser tubuhnya, duduk di lantai di depan Rara. Ia bersandar pada kaki Rara, kepalanya jatuh tepat di pangkuannya.
Gerakan itu sederhana. Tapi damai. Intim. Seperti pengakuan tanpa kata-kata.
Rara mengusap rambutnya dengan lembut. “Capek banget, ya?”
“Banget…”
Ucapan itu keluar dengan suara pecah, jujur tanpa pertahanan.
Selama beberapa menit mereka diam. Hanya napas yang saling menyusul.
Detak jantung yang perlahan menyamakan ritme.
Hanya dua orang yang menyadari mereka tidak bisa berpura-pura lagi.
Saat Ardi mendongak, tatapan mereka bertemu.
Ada sesuatu di mata Ardi yang berbeda kali ini.
Bukan kecemasan.
Bukan ketakutan.
Tapi kerinduan yang begitu dalam hingga hampir bisa diraba.
“Ra,” katanya pelan. “Kalau semua ini berakhir buruk… janji sama aku satu hal.”
Rara mengangkat alis, menunggu.
“Jangan pernah bilang kalau kamu nggak boleh bahagia gara-gara aku.”
Rara tersenyum, tapi senyumnya getir. Ia menyentuh leher Ardi, jarinya meluncur pelan ke tengkuknya. “Kamu bukan alasan aku nggak bahagia. Kamu justru pengingat kalau aku masih bisa merasakan sesuatu.”
Ardi menelan ludah. Nafasnya berubah. Rara merasakannya.
Suhu ruangan serasa naik beberapa derajat.
Ardi mengusap punggung tangan Rara dengan ibu jarinya, sentuhan kecil yang memicu aliran hangat ke seluruh tubuhnya.
Sementara jemari Rara bergerak pelan di rambut Ardi, turun ke garis rahangnya, lalu ke dagunya.
“Kalau kamu terus sentuh aku kayak gitu,” Ardi berbisik, “aku nggak tau bisa berhenti di mana.”
Rara mendekat sedikit. “Siapa yang bilang aku mau kamu berhenti?”
Utusan kecil dari keheningan itu berubah menjadi tegangan yang menggantung.
Bara itu belum menjadi api… tetapi sudah cukup untuk membakar batas-batas yang tersisa.
Ardi menutup mata, menahan diri, mengatur napas. “Kalau aku cium kamu sekarang… semuanya bakal berubah.”
Rara menunduk, bibirnya hampir menyentuh kening Ardi. “Mungkin itu yang kita butuhkan.”
Ardi membuka mata. Pada jarak sedekat itu, Rara bisa melihat bagaimana rahang laki-laki itu mengeras menahan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Pelan, Ardi mengangkat wajahnya.
Pelan, Rara memiringkan kepala.
Tapi tepat saat bibir mereka hampir bersentuhan, Ardi menarik diri, napasnya berat, matanya gelap oleh rasa yang belum sempat meledak.
“Aku… perlu pastiin kita nggak ambil langkah ini cuma karena kita lagi hancur,” katanya.
Rara mengangguk. “Aku ngerti.”
Tapi mata mereka tetap terkunci.
Dan keduanya tahu…
di balik penundaan kecil itu, ada api besar yang sedang dikumpulkan.
Bersambung ke Bagian 19…