Ruang Rapat yang Membakar
Ruang rapat lantai delapan berisi puluhan orang, dari staf junior sampai jajaran direksi. Lampu neon putih menyorot meja panjang yang dipenuhi berkas, laptop, dan botol air mineral. Namun bagi Naya, yang paling menyilaukan bukanlah cahaya lampu, melainkan tatapan Arga dari seberang meja.
Hari itu mereka diminta mempresentasikan rancangan proyek besar yang bisa menentukan masa depan perusahaan. Degup jantung Naya berkejaran dengan ketukan pena di tangannya. Arga duduk tenang, karismanya memancarkan kendali. Tetapi di sela-sela kata formal dan slide yang berganti, ada momen singkat ketika mata mereka bertemu, tatapan penuh kode rahasia yang tak seorang pun menyadari, kecuali mereka.
Intrik yang Menyelusup di Balik Angka
Direktur utama meminta Naya menjelaskan bagian desain yang ia susun. Kata-katanya mengalir, tegas dan percaya diri. Namun dari sudut meja, ia bisa mendengar desis pelan gosip dari rekan-rekan yang tampak tidak suka.
“Ambisius sekali dia,” bisik salah satu staf, cukup keras untuk membuat telinga Naya panas.
“Kalau bukan karena kedekatannya dengan Arga, belum tentu dia dipilih,” timpal yang lain.
Naya tetap tersenyum, menutup rapat perasaan yang nyaris runtuh. Arga menatapnya sekilas, seolah memberi isyarat: Tenang. Aku ada di sini.
Namun suasana makin memanas ketika salah satu manajer senior menyela, menyarankan agar konsep desain dipangkas demi kepentingan politik perusahaan. Naya ingin membantah, tapi ia tahu posisinya rawan.
Pembelaan yang Membakar Batas
Seketika, Arga angkat bicara.
“Konsep ini sudah diuji berkali-kali. Jika kita mengorbankan detailnya hanya untuk kepentingan sementara, risiko jangka panjang akan lebih besar,” ucapnya, nada suaranya rendah tapi penuh kuasa.
Suasana ruangan hening. Semua orang menoleh ke arah Arga, beberapa dengan wajah tidak senang. Tapi bagi Naya, kata-kata itu adalah tameng yang membuatnya bernapas kembali.
Seketika ia sadar, Arga tidak hanya membelanya secara profesional. Ada sesuatu di balik sorot matanya yang membuat darahnya mengalir lebih cepat. Dalam dunia penuh kepura-puraan, hanya mereka berdua yang tahu arti sebenarnya dari keberpihakan itu.
Kode Rahasia di Ruang Rapat
Saat presentasi berlanjut, ketegangan profesional berbaur dengan ketegangan personal. Naya merasakan lututnya gemetar, bukan karena gugup, tapi karena Arga sesekali menyentuh ujung jarinya ke meja, sebuah kode sederhana yang hanya ia pahami: Aku di pihakmu.
Tatapan mereka bersinggungan beberapa kali. Sekilas, singkat, tapi cukup untuk menyalakan bara di dada Naya. Sensasi itu seperti aliran listrik, membuatnya nyaris lupa di mana ia berada.
Namun gosip kembali berbisik di ujung ruangan. Suara samar: “Mereka berdua ada apa, sih? Kok intens sekali?”
Naya menelan ludah, mencoba mengendalikan diri. Ia tahu, batas ini semakin tipis.
Api yang Tak Bisa Dipadamkan
Rapat usai dengan kesimpulan yang menggantung. Direktur meminta revisi, beberapa manajer saling berbisik, dan para staf sibuk membereskan berkas. Namun di tengah keributan itu, Arga berjalan mendekat ke kursi Naya.
“Kerja bagus,” katanya singkat, suaranya hanya cukup untuk didengar Naya.
Senyum kecil yang ia berikan terasa lebih hangat dari tepuk tangan siapa pun di ruangan itu.
Saat berdiri, bahu mereka bersentuhan. Sebentar. Ringan. Tapi cukup untuk membuat Naya mengingat tekstur kemeja Arga di kulitnya berjam-jam kemudian.
Pintu yang Tertutup
Semua orang meninggalkan ruang rapat. Naya melangkah keluar, pikirannya masih berputar pada gosip yang ia dengar dan pembelaan Arga. Namun langkahnya tertahan ketika suara rendah itu memanggil namanya.
“Naya.”
Ia menoleh. Arga berdiri di pintu ruang rapat, ekspresinya serius.
“Bisa sebentar?”
Naya masuk kembali. Pintu tertutup pelan di belakang mereka. Sunyi menyelimuti, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar.
Tatapan Arga dalam, menusuk, membuat napas Naya tercekat.
“Kita perlu bicara,” katanya.
Tapi cara dia mengucapkannya membuat Naya tahu, ini bukan hanya soal pekerjaan.
Bersambung ke Bagian 5…