Bisik-Bisik di Balik Dinding Kaca
Gosip punya cara sendiri menyusup ke setiap sudut kantor. Di antara bunyi mesin fotokopi, tawa setengah ditahan di ruang pantry, hingga bisikan yang menguap di ruang rapat. Naya sudah paham, tapi kali ini ia jadi bahan pembicaraan itu.
Sejak malam itu, sejak sentuhan samar di ruang kerja Arga yang tak pernah benar-benar mereka bicarakan, tatapan rekan-rekan satu tim mulai terasa lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu yang mencurigakan dalam cara Rani, sekretaris yang terkenal dengan mata tajamnya, menatap Naya ketika keduanya bertemu di koridor.
“Lembur lagi sama Kak Arga, ya?” suara Rani ringan, tapi ada pisau tersembunyi di balik nada bercandanya.
Naya hanya tersenyum tipis, menahan diri. Kalau ia menanggapi, justru bisa jadi bahan baru. Ia melangkah pergi, tapi jantungnya berdegup lebih keras dari yang ia harapkan.
Tekanan dari Atasan
Di ruang kerja terbuka, tekanan datang dari sisi lain. Atasan mereka, Pak Bram, mulai mencurigai lembur yang terlalu sering. “Kalian ini sering sekali pulang malam. Jangan sampai produktivitas turun, ya,” katanya, dengan nada yang terdengar lebih seperti peringatan ketimbang kepedulian.
Naya menunduk, pura-pura sibuk menata dokumen. Arga di sisi lain tampak tetap tenang, hanya mengangguk singkat. Tetapi Naya tahu, di balik ekspresi karismatik itu, Arga juga sedang bermain dengan bara yang sama.
Tatapan yang Menghantui
Siang itu, ketika tim berkumpul untuk rapat, Naya merasakan jarak antara dirinya dan Arga semakin tipis meskipun mereka duduk berjauhan. Tatapan singkat, seolah tidak sengaja, membuat darahnya mengalir cepat.
Ketika tangan mereka hampir bersentuhan saat bertukar map, dunia seakan berhenti sejenak.
“Slide berikutnya, Naya.” Suara Arga terdengar tenang, tapi matanya menahan sesuatu yang lebih dalam.
Naya bangkit, berusaha profesional. Namun, tubuhnya sendiri mengkhianati niatnya. Suara napasnya terdengar sedikit lebih berat ketika ia berjalan ke depan. Sejenak, ia merasakan desir halus di punggungnya, seolah Arga menatap dengan intensitas yang nyaris menelanjangi.
Bisikan di Balik Pintu
Di luar ruang rapat, gosip makin tajam. “Aku lihat mereka pulang bareng lagi,” bisik seseorang. “Bisa jadi ada sesuatu.”
Naya menahan nafas di balik pintu, mendengar dengan jelas. Rasa bersalah dan kenikmatan bercampur, membuatnya bimbang. Ia tahu, semakin dekat dengan Arga, semakin besar risiko yang harus ia tanggung.
Malam itu, ketika hampir semua orang sudah pulang, Naya kembali terjebak dalam sunyi kantor. Hanya cahaya redup dari lampu meja yang menemani. Ia berusaha fokus pada desain proyek yang sedang disusun, tapi pikirannya melayang.
Keinginan yang Terluka
Pintu terbuka. Arga melangkah masuk, wajahnya tetap teduh, tapi matanya menyimpan sesuatu yang berbahaya. “Kau mendengarnya, kan? Gosip itu.”
Naya mengangguk pelan. “Mereka mulai curiga.”
Arga mendekat, langkahnya tenang tapi menekan. “Kalau mereka memang sudah curiga, apa yang harus kita lakukan? Menjauh? Berpura-pura tak ada apa-apa?”
Naya menelan ludah, dadanya naik turun. “Apa kau bisa?” suaranya bergetar, lirih tapi penuh tantangan.
Arga tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya berdiri di samping meja Naya, jarak mereka terlalu dekat. Kehangatan tubuhnya menjalar, membuat napas Naya tercekat. Ada jeda panjang, sebelum Arga menurunkan suaranya hingga nyaris berupa bisikan.
“Aku tidak ingin menjauh.”
Saat itu, dunia di sekitar mereka seakan runtuh. Jendela besar kantor menampilkan siluet kota yang berkilau, sementara di dalam ruangan, hanya ada dua tubuh yang saling menginginkan.
Bahaya yang Mengintai
Naya mencoba berkata, tapi suaranya tenggelam ketika tangan Arga perlahan menyentuh punggung tangannya, hanya sekejap, hanya secuil, tapi cukup untuk menghancurkan segala pertahanan yang tersisa.
“Kita… tidak boleh,” Naya berbisik, tapi tidak benar-benar menolak.
Arga menatapnya, dalam, menusuk, lalu perlahan tersenyum samar. “Tapi kita sudah melakukannya, Naya. Setiap tatapan, setiap keinginan yang kita tahan… bukankah itu lebih berbahaya daripada sekadar sebuah sentuhan?”
Naya menggigil, bukan karena takut, tapi karena tubuhnya sendiri sudah tidak lagi bisa menyangkal.
Dan di saat itulah, suara pintu berderit. Seseorang masuk.
Naya tersentak, Arga cepat berbalik. Rani berdiri di ambang pintu, menatap mereka berdua dengan senyum tipis penuh arti.
“Wah… masih lembur juga, ya?” katanya datar, lalu melangkah pergi begitu saja.
Keheningan menggantung. Degup jantung Naya nyaris pecah.
Arga menatapnya dengan intens, sementara bayangan bahaya baru saja merayap masuk di antara mereka.
Bersambung ke Bagian 4…