Ruangan Arsip yang Gelap: Ketika Pintu Menutup
Suara berderit dari pintu besi itu terdengar biasa saja bagi siapa pun yang melewatinya. Namun bagi Naya, yang sedang sendirian menyusuri ruangan arsip kantor malam itu, suara itu bagaikan penanda nasib. Lampu redup, aroma kertas tua bercampur debu, dan dingin dari pendingin ruangan yang tak merata, membuat setiap langkahnya terasa berat.
Ia baru saja meraih map terakhir dari rak paling tinggi ketika pintu menutup pelan di belakangnya. Dentuman kecil menggetarkan dadanya. Tiba-tiba ruangan itu jadi terlalu hening.
Kehadiran yang Tak Diduga
“Masih lembur juga?” suara bariton yang terlalu akrab terdengar.
Naya menoleh cepat. Di balik rak, bayangan itu muncul: Arga, dengan kemeja lengan yang sudah digulung, dasi terlepas, wajahnya terlihat letih tapi justru semakin karismatik.
“Arga? Kamu… kenapa di sini?” suara Naya nyaris berbisik.
“Dokumen presentasi. Aku kira kau sudah pulang.”
Mata mereka bertemu. Tatapan itu terlalu lama, terlalu dekat. Dalam ruangan sempit yang seolah menelan jarak, setiap helaan napas jadi terasa jelas.
Tegangan Tubuh dalam Gelap
Lampu mendadak berkedip, lalu mati. Hanya gelap pekat yang menyelimuti.
“Listriknya…?” Naya mencoba menahan panik.
Arga berdiri begitu dekat, ia bisa merasakan hangat tubuhnya menembus udara dingin.
“Naya…” bisikan itu membuat kulitnya merinding. “Jangan bergerak.”
Dalam pekatnya ruangan arsip, Naya bisa mencium aroma parfum halus yang melekat di kerah Arga. Bukan hanya itu, detak jantungnya sendiri terdengar kacau, tak selaras dengan irama napas Arga yang berat.
Ruang yang Menyusut
Mereka berdua berjalan pelan, mencari pintu. Namun sempitnya ruangan arsip membuat langkah-langkah itu semakin rapat, tubuh saling bersinggungan. Rak-rak besi menjadi saksi desahan yang ditahan, seolah udara menolak memberi ruang lega.
Ketika lengan Arga menyentuh bahu Naya untuk menuntun, kilatan sensasi menjalar cepat. Tak ada cahaya, hanya rasa.
“Naya… ini terlalu berbahaya.”
“Tapi kau tidak menjauh,” jawab Naya dengan suara gemetar, setengah menantang, setengah menyerah.
Hasrat yang Membara dalam Diam
Tangannya menyusuri rak untuk mencari pegangan, tapi justru menemukan lengan Arga. Sentuhan itu seperti bara. Arga meraih jemarinya, menggenggam erat. Gelap menyamarkan wajah mereka, tapi tubuh bicara lebih jujur.
“Kalau kita teruskan…” Arga berbisik, nyaris tertelan oleh suara napas mereka.
“Sudah terlambat untuk mundur,” jawab Naya.
Lalu, di antara deretan arsip tua, keheningan pecah oleh detik-detik yang memanjang. Tubuh mereka semakin dekat. Nafas beradu, bibir hampir bersentuhan, sebuah jeda menggantung di udara, membuat waktu terasa melambat.
Rahasia di Balik Rak
Suara langkah terdengar dari luar pintu. Seseorang lewat. Pintu arsip digoyang, tapi tetap terkunci dari luar.
Naya menahan napas. Arga merapat, menempelkan tubuhnya untuk meredam suara. Begitu dekat hingga ia bisa merasakan dada Arga yang naik turun, bisa merasakan ketegangan yang hampir tak terbendung.
“Kita terkunci…” gumam Arga.
Naya menggigit bibir, setengah panik, setengah terperangkap dalam godaan yang tak pernah ia bayangkan.
Gelap menjadikan segala batas tipis dan rapuh.
Api yang Tak Padam
Dalam gelap itu, jemari Arga menyapu lembut wajah Naya. “Aku tak bisa lagi berpura-pura,” suaranya berat, sarat dengan hasrat yang menahan diri terlalu lama.
Naya tak menjawab. Hanya diam, menunggu, tubuhnya bergetar. Jarak itu habis. Nafasnya tercekat.
Dan tepat ketika bibir mereka hampir menyatu, suara kunci berputar terdengar dari luar pintu. Lampu kembali menyala. Rak-rak, map, dan semua debu arsip jadi saksi momen yang tak selesai.
Mereka berdua terdiam, terperangkap antara rasa bersalah dan hasrat yang belum sempat pecah.
Pintu terbuka perlahan.
Seseorang berdiri di ambang.
Bersambung ke Bagian 6…