Rekaman yang Membakar
Pagi itu, Ardi duduk di ruang kerjanya dengan wajah pucat. Kopi di meja sudah dingin, tak tersentuh. Tangannya bergetar saat membuka email yang baru saja masuk. Subjeknya sederhana:
“Lihat siapa dirimu yang sebenarnya.”
Ardi menahan napas. Begitu ia klik, layar menampilkan video. Rekaman itu jelas, Ardi dan Rara di tepi danau, bibir mereka saling mencari, tubuh mereka begitu dekat hingga tidak ada ruang tersisa. Setiap detik rekaman itu menusuknya, bukan karena ia menyesal, tapi karena ia tahu: jika video ini tersebar, hidupnya bisa runtuh.
Suara notifikasi masuk lagi, kali ini pesan WhatsApp. Nomor tak dikenal, tapi Ardi tahu dari siapa.
“Tenang saja, Di. Untuk sementara rekaman ini hanya di tanganku. Tapi kamu tahu, bukan? Satu sentuhan tombol, dan semua orang akan tahu siapa Ardi sebenarnya. Termasuk keluargamu. Termasuk orang-orang di kantor yang menganggapmu pemimpin bersih.”
Ardi meremas kepalanya dengan kedua tangan. Nafasnya berat, pikirannya kalut. Ia tahu Tika sedang memainkan permainan kotor. Dan parahnya, ia tak bisa membantah. Rekaman itu terlalu jelas.
Di sisi lain kota, Tika duduk tenang di sebuah kafe. Bibirnya melengkung tipis sambil menatap layar ponsel. Ia tahu Ardi sedang ketakutan. Ia tahu, pada akhirnya, rasa bersalah dan ketakutan akan jadi jerat yang mengekang lehernya.
“Kalau dia pikir bisa memilih Rara, maka dia harus belajar… aku tidak pernah membiarkan sesuatu yang jadi milikku hilang begitu saja,” bisiknya lirih.
Sementara itu, Rara mendapat telepon dari Ardi. Suaranya terdengar pecah, seperti seseorang yang baru saja menelan racun.
“Ra… kita ada masalah besar. Rekaman kita… Tika punya semuanya.”
Rara membeku. Darahnya serasa berhenti mengalir. “Rekaman? Maksud kamu…”
“Dia rekam kita di danau. Semalam. Dia ancam bakal sebarkan.”
Rara terdiam lama. Tangannya gemetar, tapi matanya perlahan mengeras. “Kalau gitu, kita harus siap hadapi. Aku nggak mau lagi sembunyi, Di. Aku nggak mau dia mainkan kita seperti boneka.”
Ardi menarik napas panjang, namun ia tahu, badai sudah terlanjur datang. Dan yang lebih menakutkan daripada rekaman itu adalah satu hal: Tika belum mengeluarkan semua kartu.
Malamnya, sebuah akun anonim di media sosial tiba-tiba mengunggah potongan singkat rekaman itu. Hanya 10 detik, cukup untuk menunjukkan siluet Ardi dan Rara yang berciuman di bawah bulan, tapi kabur untuk membuat orang bertanya-tanya.
Komentar pun mulai bermunculan:
“Itu kayaknya si Ardi, bukan sih?”
“Gila, kalau bener, habis kariernya tuh.”
“Siapa cewek itu? Kok bukan Tika?”
Rara menatap layar ponselnya dengan dada bergemuruh. Ia tahu ini baru permulaan. Tika tidak sekadar ingin melukai mereka, ia ingin membakar habis segalanya.
Dan di antara kabut malam, Ardi hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri: apakah cinta yang mereka perjuangkan sanggup bertahan ketika seluruh dunia mulai menyalakan obor untuk menghakimi?
Bersambung ke Bagian 16…