Kebenaran yang Terselip di Balik Ruang Rapat
Suasana kantor terasa dingin pagi itu. Bukan karena pendingin udara, tapi karena semua mata memandang Ardi dengan tatapan penuh bisik-bisik.
Langkahnya menuju ruang rapat seperti menembus dinding kaca: transparan, tapi penuh bayangan penilaian. Di tangan kirinya, ia menggenggam map biru berisi laporan dari tim IT. Dan di tangan kanan, secangkir kopi yang tak pernah disentuh sejak tadi.
Di depan ruang rapat utama, papan bertuliskan “Sidang Etik Darurat: Kebocoran Data Proyek ” tergantung. Tulisan itu sendiri sudah cukup untuk membuat dada Ardi terasa sesak.
Begitu pintu terbuka, ia melihatnya.
Tika. Duduk di sisi kanan meja panjang, mengenakan blazer hitam, bibirnya dilapisi warna merah darah yang terlalu berani untuk suasana sepagi itu.
Dan di ujung lain meja, Rara. Tatapan matanya tenang di luar, tapi Ardi tahu, badai sedang berkecamuk di balik sorotnya.
Ketua dewan, Pak Damar, membuka pertemuan dengan suara berat.
“Kami di sini untuk menyelidiki dua hal: kebocoran rekaman pribadi yang melibatkan dua karyawan, dan kebocoran data proyek yang terjadi berdekatan dengan waktu yang sama.”
Ardi menatap ke depan, menahan napas.
“Saya siap menjelaskan bagian saya, Pak. Tapi izinkan saya mulai dari sesuatu yang lebih besar. Semua ini bukan sekadar kesalahan pribadi. Ini sabotase.”
Tika tersenyum kecil. “Sabotase? Kau mau bilang aku dalangnya lagi?”
Ardi menatapnya tajam. “Aku nggak bilang itu. Tapi fakta di lapangan bicara.”
Ia membuka map biru dan menyerahkan beberapa lembar cetakan kepada dewan.
“Ini hasil audit internal dari tim IT. Ada akses tak wajar ke server utama tanggal 14 Juni, pukul 22.37. Data diunduh menggunakan koneksi pribadi dari ponsel milik…”
Ia menatap Tika lurus.
“…akun login milikmu.”
Tika menegakkan badan. “Itu tuduhan gila. Siapa yang bisa jamin data itu nggak dimanipulasi?”
Ardi menjawab datar, “Kami juga menemukan IMEI ponsel yang sama di metadata video yang bocor. Rekaman itu diambil pakai ponselmu sendiri.”
Ruangan hening.
Rara menatap Tika, kaget sekaligus marah. “Jadi… video itu kamu yang ambil?”
Tika menatapnya tajam. “Jangan berlagak suci, Ra. Kamu yang datang ke danau itu. Aku cuma… merekam apa yang kulihat. Dan itu terbukti sangat berguna, kan?”
Nada suaranya seperti racun: dingin, menyakitkan, tapi diucapkan dengan senyum halus yang membuat bulu kuduk berdiri.
Ketua dewan mengetuk meja, suaranya berat.
“Bu Tika, apakah Anda menyadari tindakan merekam tanpa izin dan menyimpan data pribadi rekan kerja melanggar kebijakan perusahaan?”
Tika menarik napas panjang. “Saya sadar. Tapi kalau saya tidak punya bukti, siapa yang akan percaya bahwa Ardi dan Rara bersekongkol menjatuhkan saya dari proyek yang saya bangun sejak awal?”
Ardi menatapnya dalam-dalam.
“Tidak ada yang menjatuhkanmu, Tik. Kau yang menggali jurang sendiri. Proyek ini kau gunakan sebagai alat untuk membalas dendam pribadi. Kau bocorkan data agar kelihatan seperti kelalaian timku.”
Tika tertawa kecil, getir. “Kau pikir aku peduli pada proyek itu? Aku peduli pada apa yang kau ambil dariku, Ardi! Kau, karierku, bahkan cara orang memandangku. Semua hilang sejak kau pilih dia!”
Kata-kata itu menggema di ruang rapat, menghancurkan formalitas yang tersisa.
Rara menunduk sesaat, lalu berdiri perlahan.
“Jadi ini semua karena kamu nggak bisa nerima ditinggalkan?” suaranya pelan tapi tajam. “Kau rela menghancurkan semua orang cuma buat mempertahankan ego?”
Tika menatapnya, air matanya mulai pecah. “Kamu nggak tahu rasanya jadi aku, Ra. Selalu di belakang bayangan seseorang yang lebih disukai, lebih dipercaya, padahal semua kerja keras datang dariku.”
Pak Damar menghela napas berat. “Cukup. Semua pernyataan sudah direkam. Kami akan melanjutkan dengan penonaktifan sementara terhadap Bu Tika sampai hasil investigasi lengkap keluar.”
Tika hanya tertunduk, bahunya naik-turun menahan napas.
Tapi sebelum Ardi keluar, ia berbisik pelan, cukup untuk didengar Tika.
“Ambisimu hebat, Tik. Tapi kalau kau terus main api, kau akan hangus oleh apimu sendiri.”
Sore hari.
Rara menunggu di sebuah taman kecil di belakang gedung lama. Langit mulai memerah, dan bayangan pepohonan menjulur panjang. Dari kejauhan, langkah sepatu berhak tinggi terdengar mendekat. Tika.
“Kenapa mau ketemu aku?” tanya Tika tanpa ekspresi.
Rara membuka ponselnya, memperlihatkan satu file baru yang dikirim oleh staf IT yang sempat berbicara padanya diam-diam.
“Ini backup server email kamu. Kami temukan ada satu pesan terkirim otomatis ke alamat luar negeri dua hari sebelum video itu bocor. Isinya bukan cuma rekaman, tapi juga data proyek, semua desain dan perhitungan rahasia perusahaan.”
Tika terdiam.
“Jadi kamu bukan cuma ingin menghancurkan Ardi, tapi juga menjual data perusahaan?” tanya Rara pelan.
“Aku… aku cuma mau buktiin aku masih punya kuasa.”
“Dengan menghancurkan semuanya?”
Angin bertiup pelan, membawa keheningan panjang.
Mata Tika berkaca-kaca, tapi bibirnya tetap membentuk senyum getir. “Kau pikir kau menang, Ra? Dunia ini nggak peduli siapa yang benar. Dunia hanya ingat siapa yang terakhir berdiri.”
Ia berbalik, melangkah pergi, meninggalkan Rara dengan pikiran yang masih berputar.
Sementara itu, di kejauhan, Ardi berdiri di balkon kantor lantai sepuluh, menatap kota yang mulai diselimuti cahaya malam.
Ia tahu, badai ini belum selesai. Karena di balik setiap kebohongan yang terbongkar, selalu ada satu rahasia yang belum tersentuh.
Dan kali ini, mungkin rahasia itu lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Bersambung ke Bagian 18…
