Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Sentuhan yang Tak Terucap | Bagian 2

Naya dan Arga bertemu di koridor kantor dengan ketegangan romantis.

Jejak di Balik Tatapan

Pagi itu ruang rapat penuh dengan aroma kopi dan kertas yang masih hangat dari printer. Proyektor menyorot layar putih, memperlihatkan desain fasad gedung baru yang akan dipresentasikan ke klien besar sore nanti. Semua anggota tim hadir: Andini dengan catatan panjang, Bagas dengan sketsa setengah jadi, dan Pak Bram dengan ekspresi serius khasnya.

Naya duduk di ujung meja, rapi dengan blazer abu-abu. Tangannya memegang pointer, tapi pikirannya belum sepenuhnya pulih dari malam sebelumnya. Sentuhan singkat dengan Arga masih membekas di kulitnya, seperti bara kecil yang tak padam.

Di seberangnya, Arga duduk dengan tenang. Tatapannya sesekali berpindah ke Naya, singkat, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat napasnya tercekat.

Pak Bram membuka rapat dengan suara tegas, “Kita harus pastikan presentasi nanti berjalan sempurna. Klien ini tidak suka hal-hal yang setengah-setengah.”

Kalimat itu membuat Naya makin gelisah. Sempurna. Kata itu seperti cermin, memantulkan ketakutannya sekaligus obsesi yang selalu membebani.


Intrik yang Muncul

Saat presentasi internal berjalan, Bagas menambahkan komentar yang tak terduga.
“Pak Bram, sebenarnya beberapa bagian desain ini lebih banyak ide dari Mbak Naya. Kalau berhasil, itu karena kerja keras dia.”

Naya kaget, sementara Pak Bram hanya melirik dingin. “Kerja tim, Bagas. Jangan melebih-lebihkan individu.”

Hening sejenak. Arga mencondongkan badan ke depan. “Tapi memang benar. Banyak detail ini lahir dari jam lembur Naya. Kita semua tahu itu.”

Tatapan Naya dan Arga bertemu sesaat. Ada rasa bangga, tapi juga khawatir. Pernyataan Arga seakan melukis garis halus: ia peduli, lebih dari sekadar profesional.

Pak Bram mengetuk meja. “Baik. Hentikan basa-basi. Yang penting hasil sore ini.”

Namun, percikan sudah ada. Andini menatap Naya dengan pandangan tajam, seolah membaca sesuatu di balik keheningan mereka.


Percakapan yang Menegangkan

Seusai rapat, Naya kembali ke mejanya, mencoba fokus. Tapi Andini menghampiri dengan senyum tipis.
“Kamu sama Kak Arga… ada sesuatu ya?” bisiknya.

Naya tercekat. “Apa maksudmu?”

Andini mengangkat bahu. “Aku cuma lihat cara dia membelamu tadi. Nggak biasa.”
Lalu ia berlalu begitu saja, meninggalkan jantung Naya berdebar tak karuan.

Di ruang sebelah, Arga memanggilnya. “Nay, sebentar.”

Ia masuk, menutup pintu di belakangnya. Ruangan itu sunyi, hanya ada mereka berdua.

“Aku nggak bermaksud bikin kamu sulit tadi,” kata Arga, menatapnya serius. “Tapi aku nggak tahan lihat usaha kamu dianggap remeh.”

Naya menggigit bibir. “Kalau orang lain salah paham?”

Arga mendekat, jaraknya hanya sehelai nafas. “Biar saja. Mereka bisa pikir apa saja. Aku peduli sama kebenaran.”

Kata-kata itu seperti bara menyentuh kulit. Ruangan sempit, jarak terlalu dekat. Naya bisa mencium aroma maskulin Arga, bisa merasakan energi magnetik yang membuat tubuhnya kaku sekaligus ingin menyerah.


Sensual yang Tersirat

Naya menunduk, berusaha menjaga jarak. Tapi Arga mengangkat dagunya dengan jari, lembut, nyaris tak tersentuh, hanya seolah membiarkan dunia berhenti sejenak.

“Arga…” suaranya bergetar, setengah peringatan, setengah permohonan.

Namun sebelum kata lain bisa keluar, pintu diketuk. Mereka berdua segera menjauh, seolah tak ada yang terjadi.

Bagas masuk sambil membawa map. “Kak, ini revisi terakhir.”

Naya buru-buru keluar, wajahnya masih merah. Tapi hatinya tahu: batas itu semakin rapuh.


Bayangan di Koridor

Sore menjelang, tim bersiap menuju ruang presentasi. Semua berjalan sesuai rencana, klien tampak puas, dan Pak Bram akhirnya tersenyum tipis. Namun, bagi Naya, fokusnya hanya satu: bagaimana menghindari tatapan Arga yang terus memburunya.

Usai acara, koridor kantor sepi. Naya berjalan sendirian, high heels-nya berderap pelan. Bayangan lampu menyusuri dinding, dan di ujung lorong, Arga berdiri menunggunya.

Tatapan mereka bertemu. Tidak ada kata. Hanya diam yang penuh kemungkinan.

Dan Naya sadar, langkah berikutnya bisa mengubah segalanya.

Bersambung ke Bagian 3…

Sentuhan yang Tak Terucap | Bagian 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top