Pintu yang Tak Lagi Bisa Ditutup
Udara malam di kantor itu berubah.
Tidak ada yang mematikan lampu, tapi cahaya terasa lebih redup, seolah ruang itu ikut menyesuaikan diri dengan ketegangan di antara mereka. Tidak ada musik, namun jantung mereka berdegup begitu keras, ritmenya menyerupai tabuhan gendang yang pelan, tapi cukup untuk membuat kepala pening dan dada sesak oleh rasa yang sulit dijelaskan.
Ardi masih menatap Rara. Sorot matanya bergetar, menyimpan banyak kalimat yang tak pernah berani diucapkan, keraguan, keinginan, sekaligus sebuah pengakuan yang terlalu lama ia sembunyikan. Pandangan itu seperti air yang terus menekan bendungan, menunggu saat untuk pecah.
Dan Rara… dia bukan lagi wanita yang ragu. Tatapannya mantap, penuh keyakinan yang membuat langkahnya tak bisa ditarik kembali.
Ia berdiri dari kursi, gerakannya tenang tapi tegas, lalu berdiri tepat di depan Ardi. Hanya sejarak napas yang memisahkan mereka. Ujung jarinya terangkat, menyentuh kancing kemeja Ardi, satu per satu, tanpa tergesa, tanpa suara. Setiap sentuhan seperti mengetuk sesuatu yang selama ini terkunci di dalam dada Ardi.
“Jika kita melangkah…” bisik Ardi, suaranya nyaris hilang terbawa udara dingin.
“Kita melangkah sepenuhnya,” jawab Rara pelan namun tegas. “Bukan separuh. Bukan setengah hati.”
Kata-kata itu menghantam Ardi lebih kuat daripada teriakan. Ia meraih wajah Rara dengan hati-hati, seakan sedang menyentuh sesuatu yang rapuh namun teramat berharga. Dan ketika bibir mereka akhirnya bertemu, itu bukan sekadar ciuman. Bukan ledakan spontan, melainkan tarikan emosi yang sudah terlalu lama mereka tahan. Rasanya seperti aliran danau yang akhirnya pecah melawan bendungan, tak terbendung, tak bisa dihentikan.
Ciuman itu bukan pertanyaan. Ia adalah jawaban yang selama ini mereka cari.
Tangan Ardi menyusuri punggung Rara, merasakan getar tubuhnya di balik kain tipis. Nafas mereka makin memburu, namun gerakan tetap lambat, penuh pengekangan seakan mereka ingin memperpanjang setiap detik. Rara menengadah, matanya setengah terpejam, menyimpan campuran rasa bersalah dan kebahagiaan yang tak sanggup didefinisikan.
Di atas meja kayu tua, sketsa-sketsa berserakan. Kertas-kertas itu, yang biasanya penuh arti, malam itu tak lagi penting.
Yang penting hanyalah dua tubuh yang saling mencari, dan dua hati yang akhirnya berhenti menyangkal.
Lampu meja menyinari sebagian tubuh mereka, menyisakan siluet yang menari di dinding, bayangan yang seakan menjadi saksi bisu. Tak ada kata yang mampu menjelaskan lebih dari bahasa tubuh mereka, tarikan napas, sentuhan, dan kejujuran yang tak pernah berani mereka ucapkan sebelumnya.
Malam berjalan panjang. Ketika pagi akhirnya menjelang, matahari mulai menyusup lewat jendela. Mereka belum tidur.
Dan pintu barat itu… kini telah dibuka sepenuhnya.
Bersambung ke Bagian 4…