Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Di Balik Jendela Kayu Tua | Bagian 4

Seorang wanita di lorong kantor malam hari memegang ponsel dengan ekspresi cemas

Suara Langkah dan Bisik Rahasia

Matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela barat yang setengah terbuka. Udara dingin dan aroma kopi dari dapur kecil kantor bercampur dengan wangi samar tubuh yang baru saja saling merasakan kehangatan.

Rara duduk di ujung sofa, kemeja Ardi membalut tubuhnya, kebesaran tapi terasa pas. Di depannya, Ardi menyeduh dua cangkir kopi tanpa banyak bicara. Bukan karena kehabisan kata, justru karena terlalu banyak yang ada di kepala.

“Ini… pagi yang tenang,” ujar Ardi, akhirnya.

“Terlalu tenang untuk dua orang yang baru saja membuka pintu yang tak boleh dibuka,” jawab Rara, setengah bercanda.

Tapi senyum di wajahnya cepat hilang saat mendengar suara langkah dari tangga belakang. Langkah yang tidak mereka harapkan pagi-pagi begini.

Tika, asisten junior, membuka pintu kaca kantor dengan wajah heran. “Pak Ardi? Mbak Rara?”

Rara menahan napas. Ardi cepat berdiri. Tapi semuanya sudah terlambat. Tika bukan anak kecil. Dia melihat meja yang berantakan, sketsa yang jatuh ke lantai, dan satu kemeja putih yang belum dikenakan.

“Maaf… saya kira belum ada orang…” gumam Tika, lalu cepat menutup pintu kembali, pura-pura tidak melihat apa-apa. Tapi mereka tahu: gosip akan menyebar lebih cepat dari cahaya pagi itu.


Beberapa hari setelahnya, kantor kecil mereka menjadi lebih sunyi dari biasanya. Bukan karena tak ada tawa, tapi karena semua tawa kini terasa hati-hati. Rara berusaha bekerja seperti biasa: membuat desain, memberi arahan ke tim, tertawa sewajarnya. Tapi setiap ia melirik Ardi, ada sesuatu di matanya: cemas, namun masih penuh rasa.

Malam hari, mereka kembali bertemu. Di ruang yang sama. Tapi suasananya berbeda. Tak ada tawa ringan. Tak ada sentuhan otomatis.

“Aku bisa pergi, kalau ini merusak semua yang sudah kamu bangun,” kata Rara perlahan. “Aku tahu aku cuma… bagian dari banyak hal yang bisa kamu hilangkan.”

Ardi menggeleng. “Kamu bukan bagian. Kamu pusatnya.”

Dia mendekat, dan kali ini ciuman mereka terasa berbeda. Bukan sekadar hasrat, tapi rasa takut. Takut kehilangan. Takut salah. Tapi tetap mencintai dalam diam.

Dan ketika mereka kembali saling memeluk, tidak ada yang terburu-buru. Gerakan mereka pelan, seperti menulis ulang cerita yang hampir dihapus. Tubuh mereka saling merapat, bukan karena dorongan fisik, tapi karena ingin merasa benar, meski hanya sebentar, di dunia yang mulai menjauhkan.

“Kalau kita harus jatuh,” bisik Rara, “aku ingin jatuh bersamamu. Bukan sendirian.”

Malam kembali turun, dan danau di luar sana kembali memantulkan bayangan mereka yang utuh… namun tak pernah bisa benar-benar dilihat siapa pun.


Bersambung ke Bagian 5…

Di Balik Jendela Kayu Tua | Bagian 4

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top