Sketsa yang Disobek Diam-Diam
Dua hari sejak kepergian Rara, Ardi tidak tidur. Ia membuka ulang setiap email, setiap memo proyek. Ia mencari sesuatu… apapun… yang bisa menjelaskan kenapa surat dari Dinda baru muncul sebulan sebelum proyek besar itu ditawarkan padanya. Dan kenapa teman Dinda bisa mengirimkannya ke alamat kantor, padahal Dinda sendiri tak pernah mencarinya selama bertahun-tahun.
Lalu, sebuah nama muncul berulang kali di memo internal proyek Jakarta.
“A. Rahmawati.”
Nama itu, terlihat biasa. Tapi ketika Ardi klik lebih dalam, ia membeku.
Anastika Rahmawati.
Asisten junior mereka. Yang masuk kantor pagi-pagi dan “tanpa sengaja” melihat mereka berdua di hari itu.
Rara duduk di sebuah kafe kecil di Bandung, berusaha menata ulang hidup. Ia mendapat tawaran freelance dari firma arsitek lama tempat ia magang. Tapi setiap kali mencoba menggambar, pikirannya tetap kembali pada malam hujan, dan pada pria yang pernah ia percaya lebih dari sekadar atasan.
Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal.
“Kamu tidak salah. Tapi kamu juga tidak tahu semuanya. Ada yang ingin kamu dan Ardi gagal.”
Pesan itu diikuti oleh satu foto: gambar email yang menunjukkan Tika mengirim laporan proyek kepada seseorang bernama D. Satria, pemilik firma saingan tempat Rara dulu magang.
Mata Rara membelalak. Nama itu terlalu akrab.
Dimas Satria. Mantan kekasihnya. Dan kini… pesaing langsung Ardi dalam tender proyek Danara Waterfront.
Malamnya, Ardi dan Rara akhirnya berbicara lewat panggilan video.
“Jadi… semua ini diatur?” tanya Rara, pelan.
“Aku pikir hanya perasaanku yang rumit. Tapi ternyata, kita adalah bagian dari rencana orang lain. Mereka kirim surat dari Dinda agar kamu mundur. Supaya aku goyah. Supaya tim kita pecah,” kata Ardi, matanya tajam menahan amarah.
“Dan Tika… dipasang sejak awal?”
Ardi mengangguk. “Dia keponakan Dimas. Dan sepertinya… dia jatuh hati padaku sejak awal, tapi tak pernah berani bicara. Jadi… dia biarkan kantor tahu tentang kita. Dia biarkan gosip tumbuh. Dia tahu itu akan memecah kita.”
Rara terdiam. Semua rasa sakit yang ia rasakan beberapa hari terakhir, rupanya bukan karena cinta yang salah, tapi karena mereka dikerangkeng oleh permainan yang lebih besar.
“Apa yang kamu mau, Ra?”
Rara menatap Ardi, dan kali ini, matanya tidak lagi rapuh. “Aku ingin membangun ulang. Tapi kali ini… bukan cuma bangunan. Aku ingin kita bangun ulang cerita kita, dengan fondasi yang tahu siapa musuhnya, siapa sekutunya.”
Ardi tersenyum. Senyum lelah, tapi penuh cahaya.
“Kalau begitu, kita mulai dari sketsa baru.”
Di balik layar, seseorang membaca pesan-pesan mereka. Tika. Di mejanya, segelas kopi dingin dan mata yang tak lagi penuh harap, tapi dendam yang belum padam.
“Jika mereka pikir sudah tahu semuanya,” bisiknya sendiri, “mereka belum tahu… bab terakhir.”
Bersambung ke Bagian 8…