Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Di Balik Jendela Kayu Tua | Bagian 8

Cahaya api perapian yang menyala di ruangan remang, penuh bayangan dramatis

Api yang Tak Lagi Bisa Disembunyikan

Kantor tua di tepi Danara kini lebih sunyi dari biasanya. Sebagian besar tim sudah dipindahkan ke proyek baru. Tapi malam itu, lampu ruangan utama menyala lagi. Rara duduk sendirian, membolak-balik sketsa lama. Sketsa pertama yang ia buat bersama Ardi. Di pojok kanan bawah, ada jejak tinta samar:

“R & A, untuk sesuatu yang tak bisa dibangun sembunyi-sembunyi.”

Pintu terbuka pelan.

Langkah sepatu hak tinggi terdengar. Lalu suara yang sudah lama tidak terdengar langsung:

Tika.

Rambutnya ditata rapi. Riasannya sederhana, tapi tegas. Ia tak lagi terlihat seperti asisten manis yang menyeduh kopi tiap pagi.

“Sendirian?” tanyanya sambil berjalan masuk.

Rara menoleh tanpa senyum. “Kamu tahu aku menunggu seseorang?”

“Kamu pikir Ardi akan datang?” Tika duduk di depan meja tanpa diundang. “Dia tidak akan. Setidaknya tidak malam ini.”

Rara memicingkan mata. “Kenapa?”

Tika menatapnya lama. Lalu mengeluarkan flashdisk kecil dari saku blazer-nya. Ia meletakkannya di atas meja.

“Karena dia sedang melihat ini. Rekaman percakapan kalian. Saat kamu bilang siap meninggalkan semuanya demi dia. Saat kamu bilang cinta tak bisa dibangun setengah hati.”

Rara merengut. “Kamu merekam kami?”

“Bukan hanya kalian. Aku merekam semuanya. Termasuk saat Ardi memelukmu di ruang kerja. Saat kalian mencium satu sama lain di depan meja gambar. Aku tahu waktu dan tempat, karena… aku yang buat semuanya terlihat ‘kebetulan’.”


Ketegangan meledak. Rara berdiri.

“Kamu kenapa melakukan semua ini, Tik?”

Tika menatapnya, dingin. Tapi di matanya, ada luka.

“Karena aku sudah ada di sini sebelum kamu datang. Karena aku bekerja keras untuk diperhatikan. Tapi dia tidak pernah melihatku. Bahkan saat aku lembur sendirian, ngurus tender, backup file presentasi… dia tetap hanya melihatmu.”

Rara menarik napas, menahan emosi. Tapi suaranya mulai gemetar.

“Jadi ini balas dendam karena kamu tidak dipilih?”

Tika berdiri juga. Mereka kini saling berhadapan.

“Ini bukan cuma soal cinta, Ra. Ini soal harga diri. Kamu datang dari Jakarta, bawa nama besar, langsung dapat proyek, dapat sorotan, dan… dapat dia.”

Hening. Hanya suara kipas tua di langit-langit yang berderit pelan.

“Jadi kamu bocorkan hubungan kita ke kantor? Kamu buat gosip itu pecah?” tanya Rara tajam.

Tika menatapnya tajam. “Aku tidak butuh cerita kalian hancur. Aku hanya butuh Ardi tahu… bahwa kamu juga bisa jatuh. Sama seperti aku.”

Rara mendekat. Matanya tak lagi penuh emosi, tapi tajam seperti bilah kaca.

“Kalau kamu pikir aku datang ke sini untuk mengambil sesuatu, kamu salah. Aku datang karena aku percaya… ini bisa dibangun. Bukan dengan tipu daya, bukan dengan pengkhianatan. Tapi kamu…”

Ia menunjuk dada Tika.

“…kamu merusak pondasi itu sendiri. Dan kamu tahu apa yang terjadi saat pondasi runtuh? Yang roboh bukan cuma bangunannya. Tapi semua orang di dalamnya.”


Saat itu, pintu dibuka keras. Ardi muncul. Wajahnya pucat. Matanya merah.

Tangannya membawa laptop terbuka dengan rekaman Tika dan seorang pria, Dimas, berbicara tentang rekayasa tender, dan bagaimana Tika akan “menghancurkan dari dalam.”

Tika menoleh, kaget.

Ardi menatapnya, tak dengan marah. Tapi kecewa.

“Aku memberimu kepercayaan, Tik. Dan kamu memilih menusuk kami semua dari belakang.”

Tika melangkah mundur. Mata mulai berkaca-kaca. Tapi tak ada lagi yang bisa dikatakan.


Malam itu, di bawah langit Danara yang mendung, tiga orang berdiri dalam diam. Tak ada yang menang. Tak ada yang benar-benar kalah.

Dan di antara mereka, cinta yang dulu sembunyi-sembunyi kini berdiri terang… tapi penuh luka.


Bersambung ke Bagian 9…

Di Balik Jendela Kayu Tua | Bagian 8

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top