Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Blog Belog Adiarta

Just a stupid (belog) blog of Adiarta

Di Balik Jendela Kayu Tua | Bagian 9

Kota misterius di malam hari dengan lampu jalan menyala dan bayangan panjang

Danara yang Tak Pernah Tidur

Beberapa minggu telah berlalu sejak malam konfrontasi itu.

Tika menghilang. Surat pengunduran dirinya masuk via email tanpa ucapan perpisahan. Tak ada pamit. Tak ada jejak. Bahkan nomor teleponnya sudah tak bisa dihubungi.

Tapi Rara tahu…
Orang seperti Tika tidak pernah benar-benar pergi.


Firma perlahan menata ulang segalanya. Ardi menghadapi dewan direksi, membersihkan nama mereka, dan memutus semua relasi bisnis yang berhubungan dengan Dimas. Skandal hampir membakar semuanya habis, tapi pada akhirnya, kredibilitas Ardi, dan presentasi tajam Rara, menjadi penyelamat.

Tapi meski proyek baru mulai masuk, dan kantor mulai ramai kembali…

Ada satu meja yang tetap kosong.
Meja kerja Tika. Yang kini jadi semacam monumen bisu. Tak ada yang berani menyentuhnya.

Rara sering memandangi meja itu diam-diam. Seolah Tika masih duduk di sana, menatap layar, mencatat jadwal, dan… mengamati mereka.


Suatu malam, saat Rara lembur sendirian, sebuah email masuk dari alamat tak dikenal. Subjeknya hanya satu kata:

“Pondasi.”

Isi email:

“Kau pikir bangunan yang kalian tegakkan itu akan berdiri selamanya? Aku pernah menjadi bagian dari fondasi itu. Dan satu retakan kecil saja… cukup untuk meruntuhkannya kembali.

Sampai jumpa, Ra.”

Tak ada lampiran. Tak ada tanda tangan.

Rara menatap layar lama. Hening. Lalu mematikan lampu ruangan dan keluar. Tapi saat ia turun ke parkiran, ia sempat melihat sekelebat bayangan perempuan berjaket hitam di sisi taman kantor.

Saat ia menoleh, sosok itu sudah tak ada.


Beberapa hari kemudian, seorang klien penting membatalkan proyek secara sepihak, dengan alasan “ketidakjelasan struktur internal tim”. Ardi curiga. Tapi tak ada bukti langsung.

Tak lama setelah itu, muncul akun Instagram anonim yang mulai memposting “behind-the-scenes” kantor mereka. Ada foto lama Ardi dan Rara, komentar bernada sinis, dan satu kutipan yang membuat darah Rara membeku:

“Kalian membangun gedung dari cinta. Tapi kalian lupa: cinta juga bisa menjadi alat pembongkar.”


Rara tahu: ini belum selesai.

Tika tidak membakar bangunan mereka secara terang-terangan. Ia memilih metode lain:
mengikis… perlahan. Dalam senyap.

Dan yang paling mengerikan dari semuanya bukanlah ancamannya. Tapi waktu.

Tika tak lagi bertarung untuk menang. Ia bertarung untuk membuat mereka tak pernah merasa aman.

Dan di balik kaca kantor lantai dua yang menghadap Danau, Rara kini sadar:
musuh yang diam jauh lebih berbahaya dari musuh yang menyerang.


Bersambung ke Bagian 10…

Di Balik Jendela Kayu Tua | Bagian 9

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top