Bayangan di Balik Meja Kerja yang Mengusik
Gedung kantor itu berdiri angkuh di tengah hiruk-pikuk kota, dengan kaca tinggi yang memantulkan langit sore berwarna jingga. Di lantai sepuluh, ruang tim desain masih terang benderang meski jam kerja sudah lewat. Tumpukan kertas, aroma kopi, dan dengung mesin pendingin udara menjadi teman setia lembur malam.
Naya menunduk di balik laptop, matanya fokus pada desain presentasi. Usianya baru 27, tapi aura percaya diri dan perfeksionis sudah melekat di setiap geraknya. Di balik kacamata tipis, sorot matanya tajam, seolah tak ada detail yang boleh luput. Namun, hatinya sedang tidak sepenuhnya di layar.
Di ruangan sebelah, ia bisa mendengar suara langkah Arga. Senior sekaligus atasannya di tim proyek ini. Tiga tahun lebih tua, selalu tenang, dan memiliki karisma yang membuat orang sulit untuk tidak memperhatikan.
Ada sesuatu dari cara Arga berjalan, cara ia menutup map dengan tenang, bahkan cara ia menghela napas yang terasa terlalu dekat di hati Naya, meski ia tahu, seharusnya tidak boleh ada perasaan seperti itu.
Lingkungan Kerja yang Penuh Dinamika
Ruang tim desain bukan hanya tentang deadline. Ada Andini, sekretaris yang cerewet tapi baik hati, selalu sibuk mengingatkan soal jadwal meeting. Ada Bagas, si desainer junior yang sering membuat lelucon receh untuk mencairkan suasana. Dan ada Pak Bram, kepala divisi yang ambisius dan dikenal galak bila hasil kerja tidak sesuai standar.
Di antara semua itu, Naya selalu menjadi pusat perhatian karena dedikasinya. Namun, hanya Arga yang benar-benar bisa membuatnya goyah. Tatapannya yang singkat, sapaan dingin tapi hangat di saat bersamaan, atau sekadar menaruh kopi di mejanya tanpa banyak bicara, semuanya terasa seperti kode tersembunyi.
Ketegangan yang Tak Terucap
Malam itu, sebagian besar tim sudah pulang. Tinggal Naya dan Arga, dipisahkan sekat kaca transparan. Naya mencoba fokus, tapi refleksi bayangan Arga di kaca membuat pikirannya berkhianat.
Tiba-tiba pintu terbuka. Arga melangkah masuk, kemejanya dilonggarkan di bagian atas, lengan digulung hingga siku. Cahaya lampu menyorot wajahnya yang terlihat lelah, tapi tetap memancarkan wibawa.
“Kamu masih betah?” suaranya dalam, lembut, hampir seperti bisikan.
Naya menoleh, berusaha menahan senyum. “Entah betah atau keras kepala, saya juga bingung, Kak.”
Arga mengangkat alis, lalu meletakkan secangkir kopi hangat di samping laptopnya. “Jangan sampai kamu habis sebelum proyek ini selesai.”
Detik itu, Naya tahu detak jantungnya bukan karena kafein, tapi karena kedekatan yang terlalu berbahaya.
Percakapan yang Membuka Luka
Awalnya mereka membicarakan revisi desain, bahan presentasi, dan jadwal meeting. Tapi seiring waktu, percakapan bergeser.
“Kadang saya iri sama orang yang bisa santai,” ucap Naya tiba-tiba, suaranya lirih. “Saya selalu merasa harus sempurna. Kalau gagal… seolah semua kerja keras nggak ada artinya.”
Arga menatapnya lama. Ada kehangatan sekaligus luka di sorot matanya. “Kamu nggak harus selalu sempurna, Nay. Justru yang bikin kita manusia adalah ketidaksempurnaan kita.”
Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang Naya kira. Ia menggigit bibir, menahan sesuatu yang tak berani keluar.
Momen yang Menggoda
Saat Naya bergeser untuk mengambil kertas, tangannya tanpa sengaja menyentuh tangan Arga. Sekejap dunia berhenti. Sentuhan singkat, tapi cukup untuk membuat darahnya berdesir.
Mereka saling menatap. Tidak ada kata, hanya diam yang penuh makna. Seolah ribuan hal ingin diucapkan, tapi terhalang oleh batas yang mereka tahu tak boleh ditembus begitu saja.
Naya buru-buru menarik tangannya. “Maaf,” katanya pelan.
Arga hanya tersenyum tipis, tapi tatapan matanya membuat jantung Naya berdetak semakin kencang.
Api di Balik Tirai
Ketika malam semakin larut, Naya memutuskan untuk pulang. Ia berjalan menuju parkiran, langkahnya pelan, pikirannya kacau.
Arga sempat menawarkan untuk mengantarnya, tapi ia menolak dengan alasan sudah terbiasa sendiri. Padahal, yang ia takutkan adalah jika terlalu lama berada di dekat Arga, ia tak bisa lagi berpura-pura tenang.
Sebelum masuk ke mobil, ia sempat menoleh ke atas. Di lantai sepuluh, lampu ruangan Arga masih menyala. Bayangannya tampak berdiri di depan jendela, mengamati kota malam.
Dan di hati Naya, satu hal jelas: Ada sesuatu yang sudah berubah malam ini. Sesuatu yang tak bisa ia cegah, meski ia tahu risikonya terlalu besar.
Bersambung ke Bagian 2…