Rencana yang Lahir dari Diam
Sudah seminggu sejak pagi itu, pagi di mana langkah Tika tak hanya mengubah dinamika kantor, tapi juga dinamika hati mereka. Dan sejak saat itu, waktu menjadi musuh yang berjalan pelan-pelan, tapi pasti.
Di balik profesionalisme yang dipaksakan, Rara dan Ardi mulai sering bertukar pandang lebih singkat, kata lebih sedikit, tapi makna lebih berat. Mereka tahu, tempat seperti Danara, kota kecil di tepi danau, menyimpan gosip seperti daun kering menyimpan api. Sedikit angin saja, bisa membakar semuanya.
Malam itu, hujan turun di luar jendela kayu tua. Suara air menari di atap kantor. Di dalam ruang kerja yang tak lagi seterang biasanya, Rara berdiri memandangi hujan, sementara Ardi duduk di kursinya, diam, dengan dua cangkir kopi yang mulai mendingin.
“Aku ditawari proyek besar di Jakarta,” kata Ardi akhirnya, seperti menusuk keheningan.
Rara tak menoleh. “Kapan?”
“Minggu depan. Kalau aku ambil, aku akan jadi direktur utama proyek itu. Tapi aku harus pindah.”
Diam kembali jatuh. Tapi kali ini bukan karena tak tahu harus bicara apa. Justru karena masing-masing sedang menimbang beratnya kalimat: “aku harus pindah.”
“Aku bisa ikut,” kata Rara pelan, tanpa emosi, tapi penuh arti. “Kalau kamu mau.”
Ardi menatapnya. Lalu berdiri, mendekat. Di antara suara hujan, ia menyentuh pipi Rara, lembut, seperti menyentuh sesuatu yang hampir pecah.
“Kamu siap kehilangan semuanya hanya karena aku?”
Rara menggeleng pelan. “Aku tak kehilangan apa-apa jika pergi bersamamu. Yang kutakutkan… adalah tinggal dan pura-pura tak pernah mencintaimu.”
Ardi mencium keningnya. Lama. Sunyi. Dalam ciuman itu, mereka mulai merencanakan tanpa berkata-kata.
- Mereka akan pergi bersama.
- Meninggalkan Danara.
- Meninggalkan sketsa yang dulu hanya digambar di dinding kantor kecil.
- Meninggalkan bayangan, tapi membawa cahaya yang akhirnya bisa mereka miliki di ruang terbuka.
Malam itu mereka kembali bersatu. Tapi tidak lagi dalam sembunyi. Kali ini tubuh mereka saling mendekap dengan tekad, bukan sekadar keinginan. Nafas mereka saling memburu, tapi bukan karena rasa bersalah, melainkan karena mereka tahu: ini mungkin malam terakhir sebelum semuanya berubah.
Kemeja jatuh. Sketsa berserakan. Tapi hati mereka terasa utuh.
Tak ada janji. Hanya rencana.
Dan di luar jendela kayu tua itu, hujan terus turun. Seolah menyucikan semua yang dulu terasa salah.
Bersambung ke Bagian 6…