Fenomena “Kabur Tapi di Tempat”
Migrasi virtual generasi muda kini bukan lagi soal pindah negara. Nggak perlu paspor, visa, atau tiket Garuda. Cukup kuota internet, satu akun TikTok, dan sedikit rasa ingin kabur dari kenyataan, maka voilà, kamu sudah sah menjadi pelancong digital.
Anak muda zaman sekarang bukan hanya cari tempat kerja yang remote, tapi juga emosi yang bisa “diparkir” sementara. Dan tempat parkirnya? Ya media sosial. Karena di situlah semua bisa jadi lebih indah… atau setidaknya terlihat lebih indah.
Ketika Instagram Jadi Terapi, Twitter Jadi Terapi… tapi Malah Butuh Terapi
Instagram adalah tempat di mana semua orang terlihat bahagia, glowing, dan makan sushi setiap hari. Twitter? Tempat ideal untuk curhat, ngeluh, dan menyusun konspirasi kalau dunia memang tidak adil untuk kamu (dan mantan kamu yang sekarang sudah tunangan).
Di sinilah kita melihat betapa media sosial bukan sekadar hiburan. Ia berubah fungsi menjadi tempat pelarian mental. Punya masalah di rumah? Scroll. Gaji belum naik? Scroll. Gebetan balasnya “wkwk” padahal kamu ngetik panjang-panjang? Scroll lagi. Kadang hidup terasa lebih bisa dikendalikan saat kita bisa memilih filter dan caption.
Kenapa Harus Kabur? Karena Dunia Nyata Terlalu Banyak Notifikasi
Migrasi virtual bukan karena generasi muda lemah. Mereka adaptif. Mereka tahu bahwa kadang, mundur sebentar ke dunia digital adalah strategi bertahan. Di dunia nyata, kamu harus jawab email, bayar tagihan, dan senyum ke tetangga. Di dunia virtual, kamu bisa jadi siapa saja, bahkan jadi versi terbaik dari dirimu (atau paling tidak, versi yang lebih tinggi followers-nya).
Media sosial menawarkan ruang instan untuk validasi, hiburan, bahkan solidaritas. Kamu bisa sedih bareng orang random, dan tetap merasa “dilihat” tanpa harus menghadap HRD.
Bahaya di Balik Pelarian
Tapi, pelarian yang terus-menerus juga punya risiko. Overdosis scroll bisa bikin kamu lupa caranya ngobrol tanpa emoji. Kesepian bisa jadi makin dalam justru ketika kamu dikelilingi “teman virtual” yang nggak tahu kamu lagi nangis sambil makan mie instan jam 2 pagi.
Kalau pelariannya tidak disadari, migrasi virtual bisa berubah jadi isolasi. Di sinilah pentingnya membangun kesadaran digital. Bahwa kabur ke media sosial boleh, tapi jangan sampai lupa pulang.
Jadi, Migrasi Virtual Itu Buruk?
Nggak juga. Migrasi virtual generasi muda bisa jadi refleksi bahwa dunia nyata masih belum sepenuhnya ramah buat mereka. Alih-alih menghakimi, lebih baik kita pahami kenapa mereka butuh kabur dulu, biar bisa kembali dengan lebih kuat.
Toh, seperti backpacker yang cari tempat healing, anak muda juga butuh ruang untuk bernapas. Dan kalau media sosial bisa jadi tempat singgah sementara, mungkin tugas kita adalah memastikan mereka punya alasan untuk pulang, ke dunia nyata yang lebih suportif dan manusiawi.
Kalau kamu merasa ikut-ikutan kabur ke dunia digital akhir-akhir ini, tenang. Migrasi virtual generasi muda bukan tanda kamu lemah, tapi bisa jadi kamu sedang mencari ulang cara bertahan. Asal jangan lupa: sinyal boleh kenceng, tapi hati tetap butuh sambungan yang nyata.