Peta yang Tak Pernah Ditunjukkan
Tiga hari sebelum kepergian mereka, Ardi dan Rara duduk di beranda rumah sewaan milik Ardi, tempat mereka sering menghabiskan malam dengan teh hangat dan peta-peta proyek. Tapi malam ini, tak ada sketsa, tak ada rencana bangunan. Hanya keheningan dan setengah koper yang belum ditutup.
“Kamu yakin?” tanya Ardi.
“Dengan kamu?” Rara tersenyum kecil. “Sudah lama.”
Ardi mengangguk, tapi wajahnya tak sepenuhnya tenang. Ada sesuatu yang ia simpan. Dan Rara, meski tak bertanya, tahu benar: keheningan seperti itu selalu menyimpan gemuruh yang belum dilontarkan.
“Kamu belum cerita satu hal pun tentang masa lalumu,” ucap Rara, akhirnya. “Bahkan saat aku sudah cerita soal keluargaku, soal kota lamaku… kamu selalu diam.”
Ardi menarik napas panjang. Lalu berdiri, berjalan ke dalam, dan kembali dengan sebuah amplop kusam.
“Ini kenapa aku ragu meninggalkan semuanya begitu saja,” katanya. “Dan kenapa aku takut membuat kamu ikut terbakar.”
Rara membuka amplop itu. Di dalamnya: foto seorang perempuan dengan bayi di gendongannya. Di balik foto, tertulis:
“Untuk Ardi, agar kamu selalu ingat bahwa yang kau tinggalkan, masih menunggumu.”
Rara menatap foto itu. “Siapa mereka?”
Ardi duduk kembali, kali ini tak bisa menyembunyikan getar suaranya.
“Namanya Dinda. Dulu dia kekasihku, sebelum aku datang ke Danara. Kami sempat bertunangan. Tapi aku… kabur. Karena proyek, karena tekanan, karena ego. Dia tak pernah mencariku. Tapi surat itu datang dua bulan lalu. Lewat temannya. Anak itu… bisa jadi anakku.”
Rara menelan ludah. Hujan tak turun malam ini, tapi dadanya seperti sedang diguyur ribuan pertanyaan.
“Kenapa kamu baru cerita sekarang?”
“Karena aku pengecut,” jawab Ardi, jujur. “Karena aku pikir aku bisa membangun masa depan baru denganmu tanpa perlu membuka kembali pintu yang ini.”
Diam. Rara menatap foto itu lagi. Lalu menatap Ardi.
“Apa kamu masih mencintainya?”
“Tidak. Tapi aku belum selesai dengannya. Dan… mungkin belum selesai dengan diriku sendiri.”
Malam itu, mereka tidak tidur seranjang. Bukan karena benci. Tapi karena mereka butuh ruang untuk berpikir, bukan sekadar merasa.
Pagi harinya, Rara menulis di atas kertas sketsa:
“Arsitektur yang baik tidak hanya membangun sesuatu yang indah, tapi juga tahu kapan harus membongkar sesuatu yang rapuh, agar bisa dibangun ulang dengan fondasi yang lebih kuat.”
Lalu ia menaruh catatan itu di atas koper Ardi. Dan pergi.
Tanpa kata perpisahan. Hanya jejak rasa… dan sketsa yang belum selesai.
Bersambung ke Bagian 7…